Rasa-rasanya “survival
of the fittest” cukup relevan dengan kondisi pagebluk Corona seperti
sekarang. Ngomong-ngomong, belakangan baru saya tahu kalau “pagebluk” itu
merupakan kata dari Bahasa Jawa yang sudah resmi terdaftar di KBBI, dan dapat
dijadikan padanan kata untuk “wabah”.
Tak butuh waktu lama dari hari-hari awal imbauan social distancing di Indonesia, beberapa
kawan sudah sigap menghadapi potensi penghasilan yang mungkin hilang karena
Corona dengan menyediakan Covid Starter Kit, yang berisikan masker, sanitizer, hingga termometer tembak.
Padahal kalau saya ingat, minggu sebelumnya mereka-mereka ini masih fokus bekerja
sebagai marketing cafe, sales mobil, wedding
organizer, dsb. Tapi memang
mereka inilah contoh manusia terbaik yang mengamalkan survival of the fittest. Mereka tahu seninya hidup di masa
pagebluk.
Nah yang sudah bertahan ini, tentunya lama-lama bukan
sekadar hidup, tapi juga berkembang biak, dan malah berevolusi. Dari yang
tadinya cuma jual masker kain biasa, kini maskernya sudah bermotif, atau bahkan
bersablon lucu atau berbentuk unik dengan tambahan kuping, dan hidung boneka.
Alhasil, pemandangan anak-anak yang berlarian depan rumah dengan masker kucing,
atau macan menjadi the new normal pula
bagi saya. Selain itu, kini tak sulit untuk membeli barang-barang ini, cukup
jalan sedikit ke jalan raya, yang jual sudah ada. Atau tinggal pilih saja salah
satu dari deretan kontak status Whatsapp
yang ada. Selain berjualan masker, beberapa di antaranya malah kini sudah
bertindak sebagai sebagai pedagang “Palugada” (apa yang lu mau gua ada).
Baca juga: Sebuah Upaya Untuk Tetap Waras: Catatan Kuncitara #1
Baca juga: Sebuah Upaya Untuk Tetap Waras: Catatan Kuncitara #1
Mungkin sebetulnya, tak perlu jauh-jauh bicara soal orang
lain, tempat saya bekerja pun kini sudah mengalokasikan sebagian supply-chain untuk memproduksi APD, dari
yang sebelumnya fokus membuat perlengkapan traveling.
Bukan APD biasa tentunya, tapi APD yang selain memenuhi standar WHO, juga dapat
digunakan berulang-ulang, hingga dapat bertahan lebih dari 20 kali proses
sterilisasi dingin. Setidaknya, APD ini dapat mengurangi dana yang keluar oleh
rumah sakit untuk penggunaan APD sekali pakai. Jasa pembuatan APD ini pun
kemudian dapat saya jumpai melalui berbagai iklan brand lainnya yang cukup banyak berseliweran di kanal instagram.
Di samping sektor bisnis fashion,
industri food & beverage dan
pariwisata yang dapat dibilang sektor
yang paling terkena dampak Corona pun harus memodifikasi layanannya dengan
membuat penawaran produk yang lebih kreatif, dan adaptif. Contohnya saja
seperti beberapa hotel yang membuka paket menginap satu bulan dengan harga super hemat, serta deretan coffee shop yang kini menjual kopi
kemasan dengan ukuran botol literan. Produk ini menangkap kebutuhan pelanggan
setianya yang ingin ngopi, tapi tidak
diperkenankan berkurumun, dan tidak keluar rumah. Lalu ada juga jasa kirim sayur dan buah yang kian marak.
Pada masa pagebluk ini, mungkin saya dapat dibilang cukup
beruntung, karena perusahaan tempat saya bekerja tidak sampai memberlakukan unpaid leave bagi karyawannya. Adapun
saya dan kawan-kawan lainnya dirumahkan untuk kemudian tetap meneruskan
rutinitas dengan sistem work from home. Hal
ini dapat terwujud, ya.. karena memang bentukan aktivitas kerjanya
memungkinkan.
Baca juga: Siasat Mengajarkan Ibu Menghadapi Corona : Catatan Kuncitara #2
Baca juga: Siasat Mengajarkan Ibu Menghadapi Corona : Catatan Kuncitara #2
Namun, berbeda halnya dengan yang dialami adik saya yang
bekerja di sebuah hotel di kawasan Jatinangor. Begitu situasi darurat Corona
diumumkan Negara, tingkat okupansi pun menurun drastis hingga mendekati nol.
Dua hari kemudian, ia dirumahkan hingga saat ini. Sedikit banyak, akibatnya pun
sebetulnya bisa saya rasakan. Bila diibaratkan keluarga kami selama ini adalah
sebuah sepeda yang berjalan dengan dua roda, kini sepedanya harus dimodif agar
bisa berjalan dengan satu roda saja. Masih aman, tapi cukup bikin ketar-ketir.
Sebetulnya saya sendiri memiliki dua jalur penghasilan.
Selain bekerja, saya menjalankan bisnis online
yang kurang lebih sudah berjalan selama setahun ke belakang. Akan tetapi,
karena barang yang saya jual bukan kebutuhan primer, maka ambyar sudah kanal penghasilan tambahan saya. Dari yang Februari
lalu bisa menghasilkan minimal tiga penjualan per hari, kini bahkan tak sanggup
menggapai angka tersebut menginjak pekan ke-3 April. Saya rasa hal ini pun
berlaku pada kawan-kawan lain yang berjualan barang-barang kebutuhan sekunder. Kini
semua potensial customer kami lebih prefer untuk spend uangnya di kebutuhan pokok, dan tentunya untuk Covid Starter
Kit. Sisanya akan sangat mungkin untuk ditabungkan sebagai dana jaga-jaga.
Krisis ekonomi karena Covid yang terjadi hari ini, tentu
berbeda dengan krisis moneter yang pernah dialami Indonesia sekitar dua dekade
silam. Bila saat tahun tersebut ayah saya masih bisa berhasil mengakali
tambahan penghasilan dengan mengajar Bahasa Inggris di beberapa tempat kursus,
kini saya yang mengambil alih peran beliau di keluarga, sedikit kebingungan mencari
sampingan yang tepat. Karena pembatasan aktivitas tentunya.
Segini saja sudah bingung ya? Padahal ini masih belum
seberapa dengan para pekerja, dan pedagang yang memang kolam nafkahnya berada
di luar rumah. Bagaikan buah simalakama yang bentuknya baru saja iseng saya googling yang ternyata mirip jambu atau
terong Belanda. Bila keluar rumah berisiko
terpapar Corona, sedang bila diam di rumah, mereka tidak bisa memperjuangkan
isi perut keluarga. Sedangkan bantuan pemerintah pun tentu butuh proses yang
tak sebentar, dan harus menghadapi beragam rintangan yang mungkin terjadi di
lapangan. Bukan bermaksud suudzon, tapi
ya semoga saja dalam kondisi seperti ini tidak terjadi. Ya memang di negeri kita ini, jangankan berbentuk uang
tunai atau sembako, Es Krim mevvah nan
viral Viennetta saja bisa jadi objek meraup keuntungan lebih bagi segelintir
orang.
Soal Viennetta, beberapa hari terakhir lini masa twitter saya sempat diramaikan oleh kabar
dari food vlogger Awi Rachma yang berhasil
mengungkap penimbunan es krim ‘kesenjangan sosial’ itu di beberapa mini market.
Itulah kenapa sangat sulit menemukan produk tersebut di rak pajangan freezer Walls. Karena stocknya
disembunyikan di bagian bawahnya. Saat ada pelanggan yang berhasil
menemukannya, dalih yang disebutkan petugas shift yang bersangkutan adalah
bahwa es krim ini sudah dibeli oleh pegawai. Ya memang tidak salah bila pegawai
sendiri membeli produk yang dijual toko. Tapi ketika produk tersebut kemudian
dijual secara online dengan harga
1,5-2 kali lipat lebih mahal, ini meninggalkan kesan yang buruk bagi brand di mata pelanggan. Bahkan pihak
Walls yang tidak bersalah pun sampai membuat surat permohonan maaf untuk ini.
Awalnya saya tidak begitu perduli, hingga saya melihat postingan lain dalam akun
instagramnya, Awi juga berhasil membuktikan penimbunan masker dan antiseptic
oleh seorang karyawan mini market. Tentu tidak semua pegawai mini market
bertindak demikian, tapi cukup membuat saya berpikir soal ketiadaan produk
antiseptic saat hari pertama social
distancing diberlakukan. Walaupun sejujurnya, dalam skandal ini cara Awi memang
agak kurang bersahabat di social media hingga memicu amarah paguyuban pegawai
mini market se-Nusantara.
Karakter orang Indonesia tuh sebetulnya panjang akalnya
dalam menghadapi kondisi seperti ini. Namun terkadang, sikap lebih ingat dengan
perut sendiri pada sebagian orang, tanpa sadar seringkali melupakan etika,
serta mematikan nurani. Inilah yang menyebabkan harga masker medis melonjak
dengan harga tak masuk akal. Kalau ada yang menjual dengan harga reguler, eh..barangnya
fiktif. Hal ini pun yang membuat pihak platform
e-commerce kemudian menyeleksi ketat merchant-nya
yang terindikasi penipuan.
Baca juga: Bahaya Laten Iliterasi, Dan Teori Konspirasi : Catatan Kuncitara #4
Yang memiliki sisi buruk tak sedikit, namun yang masih punya hati untuk membantu sesama pun tak kalah banyak. Beberapa grup WA yang saya ikuti banyak yang bergerak secara kolektif mengordinir pengumpulan donasi untuk membantu saudara kita yang perekonomiannya kurang. Dukungan terhadap sesama pun tak melulu bersifat financial, tapi juga dapat berbentuk moril, atau sesederhana sebuah rekomendasi bisnis kawan yang satu dengan kawan lainnya.
Lama waktu kemungkinan krisis ini berlangsung tidak hanya menyakiti isi dompet, tapi juga dapat memukul kesehatan mental. Oleh karena itu, kehadiran kawan pun penting.
Baca juga: Bahaya Laten Iliterasi, Dan Teori Konspirasi : Catatan Kuncitara #4
Yang memiliki sisi buruk tak sedikit, namun yang masih punya hati untuk membantu sesama pun tak kalah banyak. Beberapa grup WA yang saya ikuti banyak yang bergerak secara kolektif mengordinir pengumpulan donasi untuk membantu saudara kita yang perekonomiannya kurang. Dukungan terhadap sesama pun tak melulu bersifat financial, tapi juga dapat berbentuk moril, atau sesederhana sebuah rekomendasi bisnis kawan yang satu dengan kawan lainnya.
Lama waktu kemungkinan krisis ini berlangsung tidak hanya menyakiti isi dompet, tapi juga dapat memukul kesehatan mental. Oleh karena itu, kehadiran kawan pun penting.
Dari lapisan bawah, hingga ke atas, semuanya pun terdampak perekonomiannya.
Hanya saja resistensi terhadap krisis yang berbeda, dan tentu cara untuk survival-nya pun berbeda. Namun kita selalu memiliki pilihan dalam bertahan hidup. Apakah akan
menjadi sosok adaptif yang berjuang bersama kawan? Atau menjadi pribadi manipulatif
yang memanfaatkan keadaan?
0 komentar:
Posting Komentar