Psikosomatik katanya,
istilah untuk reaksi kecemasan karena overthinking
mulai memengaruhi kondisi tubuh. Rasa-rasanya sih itu sudah terjadi pada diri
saya sejak imbauan tentang social
distancing mulai digaungkan. Memang kadang tiba-tiba saja tenggorokan mulai
terasa gatal, yang kemudian diikuti dengan 1-2 batuk kecil yang cukup membuat
orang-orang dalam radius 5 meter melirik tajam penuh curiga.
Mau bagaimanapun, ketika rutinitas hidup mulai dipaksa
berubah seekstrim ini, pelan-pelan hal tersebut mulai mengganggu jalan pikiran.
Kata-kata “pakai masker”, “cuci tangan sesering mungkin”, “jangan salaman”, “jangan
berkumpul”, “jaga jarak minimal 2 meter”, “kalau salat bawa sajadah sendiri”,
dan “jangan keluar rumah bila tidak perlu”, terus menerus terngiang di kepala.
Ditambah pula dengan topik Corona non-stop yang beredar di chat group dan social media yang sungguh menambah
perasaan parno. Kalau dibaca suka bikin panik, kalau tidak dibaca bikin
penasaran. Menakutkan, tapi diam-diam dirindukan.
Walaupun begitu, kini saya jadi tahu alasan mengapa cukup
banyak baby boomer santai-santai saja
menghadapi pandemik Covid-19. Itu karena mereka tidak terpapar berita tentang
ini separah saya, atau siapapun yang berada di generasi-generasi di bawahnya.
Ayah saya tahu Corona, ya dari TV, ataupun grup Whatsapp
keluarga, tapi beliau tidak sampai sedikit-sedikit buka dan scroll-scroll lini masa twitter seperti yang saya lakukan.
Padahal kalau dipikir-pikir, beda 10 menit saja tidak akan menambah sebuah perbedaan
berita secara signifikan. Oleh karena itulah digital distancing adalah hal yang pertama mulai saya lakukan dalam
beberapa hari ke belakang untuk tetap waras menjalani kehidupan.
Baca juga: Siasat Mengajarkan Ibu Menghadapi Corona : Catatan Kuncitara 2
Baca juga: Siasat Mengajarkan Ibu Menghadapi Corona : Catatan Kuncitara 2
Digital distancing
Digital Distancing memang
manjur tenan, bikin hidup serasa kembali tanpa keberadaan Corona. Tiga jam
melepaskan diri dari smartphone saja sudah
cukup mengusir badai yang merundung isi kepala. Walaupun begitu, ada
waktu-waktu khusus di mana saya harus membuka layar gawai untuk bekerja, yang
sekaligus saja dimanfaatkan untuk meng-update
berita soal si wabah bebedah. Bedanya dengan dulu, kini psikis saya rasanya
tidak terasa sampai babak belur dihajar paranoid. Angka-angka positif dan Covid
yang dari hari ke hari terus bertambah pun rasanya mulai menjadi hal lumrah,
walaupun tentu bagi korban dan keluarganya, tak ada angka yang bisa
menggantikan sebuah nyawa.
Dari tingginya exposure
informasi soal Covid-19, saya pun mulai belajar mengambil sikap yang bisa
menjernihkan kepanikan, setidaknya di dalam rumah, dan di beberapa group Whatsapp
yang saya kelola.
Saya tergolong warga Negara
RI yang menganut pendapat bahwa jumlah real
penderita Covid di Indonesia sudah berkali-kali lipat dari yang diumumkan
Kemenkes pukul setengah empat sore setiap harinya. Hanya saja, mereka belum terdeteksi,
dan mungkin beberapa di antaranya menjadi salah seorang yang sering saya lihat
masih nangkring di pinggir jalanan Kota Bandung. Tanpa pengawasan. Tanpa
perlindungan. Abai terhadap imbauan.
Memang betul angka penderita makin tinggi, dan sepertinya akan
tetap terus naik hingga berminggu-minggu ke depan. Dan mungkin beberapa hari setelah
tulisan ini dibuat, akan muncul titik merah di peta 1)Pikobar yang
menunjukkan sudah ada penderita Covid dekat rumah. Tapi kalau dipikir-pikir, sebetulnya,
hal utama yang perlu saya fokus lakukan adalah melindungi diri dan keluarga,
dengan sebaik mungkin mengikuti saran pemerintah. Diam di rumah hingga darurat
Corona ini yang ceunah diharapkan berakhir
pada 29 Mei nanti, serta menjaga kebersihan, dan mengurangi interaksi fisik
bila mengharuskan diri keluar dari kediaman.
Work From Home
Tentu sangat menyenangkan berada di rumah, tapi hanya jika sudah
lelah bekerja, dan puas beraktivitas di luar ruang. Selebihnya, akan menjadi
sangat membosankan dan penuh perjuangan. Ini kali pertama bagi saya work from home dengan tanggal akhir
tanpa kepastian.
Buat saya yang senang merekam momen menarik di kota, ada banyak
sekali kejadian unik yang menggoda. Namun tidak ada satu pun foto yang bisa
menggantikan masa karantina ini bisa usai dengan segera. Tapi kalau memang terasa
sudah sangat penat berat dan butuh kewarasan, pukul lima pagi, saya akan memacu
revo fit kesayangan mengasah jalanan
Kota Bandung yang sudah kering tak terjamah kemacetan. Tanpa tujuan. Tanpa turun
dari kendaraan. Tanpa interaksi dengan manusia. Sekadar menghirup kesegaran
udara pagi. Sekadar pengingat semangat bahwa akan ada hari di mana kehidupan
lama yang hilang akan bisa kembali.
Di luar dugaan, kehidupan work from home ini terasa sangat intens dibanding apa yang ada di dalam
bayangan. Mungkin karena untuk menjalani ini, saya benar-benar mengisolasi diri.
Saya soalnya tipe orang yang gampang sekali terdistraksi. Bahkan diskusi kecil
tetangga yang terdengar menembus dinding pun terkadang menjadi sebuah hal yang
bisa menginterupsi konsentrasi.
Baca juga: Seni Hidup Di Masa Pagebluk : Catatan Kuncitara #3
Baca juga: Seni Hidup Di Masa Pagebluk : Catatan Kuncitara #3
Di luar bekerja untuk bisa mendapat rehat yang sejati, tentu
menonton televisi atau terlalu banyak memainkan perangkat gawai dan mengotak-atik
aplikasi bukan sebuah pilihan yang bisa mewaraskan diri. Berbuat sesuatu yang
lain, yaa..bisa jadi opsi. Mulai dari menyelesaikan tumpukan buku yang dibeli tahun
lalu yang sepertinya hampir basi, ataupun mencoba beberapa resep menu hits
dunia maya yang membuat semua orang tiba-tiba saja menjadi master chef sehari. Aah..atau bisa juga dengan membuat beberapa konten
visual, audio, maupun tulisan seperti ini. Karena buat saya, jujur saja, it helps! Sangat membantu menguraikan
pikiran-pikiran yang membelit di benak.
Buat saya, melakukan sesuatu hal yang berbeda walaupun
sedikit, itu bisa menjaga kesehatan mental. Entah sih dengan kawan-kawan lain. Karena
kalau harus non-stop ngajentul film
seri marathon di depan laptop, rasanya saya tak sanggup. Justru makin memicu
ketidakwarasan. Yaa..kalau sehari melahap satu judul film mah masih cukup.
Di samping semua hal itu, tentunya saya jadi lebih banyak
bicara dengan keluarga. Sebagai orang yang sudah terlalu cukup banyak tahu
tentang bahaya Covid-19, saya menjadi orang yang kini jauh lebih bawel
dibanding sebelumnya kepada anggota keluarga di rumah. Bahkan saya yang
tergolong irit bicara di grup Whatsapp keluarga,
kini menjadi semacam HOAX buster yang
mau repot pelan-pelan meluruskan seliweran info yang datang tidak meyakinkan.
Baca juga: Bahaya Laten Iliterasi, Dan Teori Konspirasi : Catatan Kuncitara #4
Baca juga: Bahaya Laten Iliterasi, Dan Teori Konspirasi : Catatan Kuncitara #4
Aah.. mungkin akan saya ceritakan selengkapnya nanti saja pekan
depan di edisi Catatan Kuncitara berikutnya. Semoga seri catatan ini tidak
sampai panjang-panjang. Karena berarti, pandemi dapat lebih cepat berakhir.
By the way, kata “kuncitara”
ini saya ambil dari padanan kata dalam Bahasa Indonesia untuk lockdown, yang banyak digunakan di
beberapa media. Walaupun kota tempat saya tinggal belum atau tidak menerapkan lockdown, tapi rasanya pilihan kata ”kuncitara”
menarik untuk digunakan.
Stay safe, stay sane.
1)Aplikasi
seputar info Covid-19 di Jawa Barat
0 komentar:
Posting Komentar