Semenjak
mulai populer empat tahun lalu, terhitung sudah tiga kali saya mengunjungi
Curug Cisanggarung atau yang lebih dikenal dengan Batu Templek. Padahal Batu
Templek itu adalah nama jenis batuan yang banyak ditemukan di kawasan wisata
alam tersebut. Mungkin karena itulah, pengelola dan warga sekitar mulai
mengedukasi melalui plank penunjuk lokasi bahwa nama tempat ini adalah Curug
Cisanggarung.
Jembatan gantung menjadi atraksi baru di Curug Cisanggarung Batu Templek |
Selain
beberapa plank bertuliskan Curug Cisanggarung yang mulai dapat terlihat di
sekitar lokasi, rupanya tempat ini mengalami banyak perubahan lain dari sejak
saya mampir untuk menyaksikan acara penutupan Bandung International Art
Festival (BIAF) yang digelar di sini tahun lalu.
Untungnya,
Curug Cisanggarung tidak didandani sampai terlalu menor. Setidaknya, tidak ada ornamen
berbentuk jantung hati, ataupun dekorasi warna-warni yang justru dapat merusak
wajahnya. Spot selfie sih ada, tapi tidak berlebihan. Hanya sebuah papan kayu
bergambar tubuh manusia purba, patung dinosaurus, dan sebuah jembatan gantung
yang panjangnya mungkin tak lebih dari 300 meter.
Keberadaan
jembatan gantung tentu paling menarik perhatian saya. Mungkin idenya dari
Jembatan Situ Gunung, Sukabumi, yang sedang hits belakangan. Saya pun
mencoba menyeberangi jembatan ini dengan perasaan sedikit was-was, terutama
saat mencapai kayu di bagian tengah jembatan yang mengeluarkan bunyi cukup
nyaring saat diinjak. Memang keberadaan tanda di mulut jembatan yang mengatakan
“untuk keselamatan bersama, gunakan 3 orang” cukup menjadi sebuah peringatan.
Akhirnya ketika kembali menuju ke tempat parkir motor pun, saya lebih memilih
untuk menyeberangi sungai saja.
Sama
seperti saat pertama kali mampir ke sini tiga tahun silam, sungainya kotor bak
bajigur. Tapi saya rasa warna air sungai yang kecoklatan ini dihasilkan oleh
kandungan warna batuan di sini. Karena bila melihat air yang mengalir di atas curug, warnanya lebih bening. By the way, Curug Cisanggarung ini
memang tidak seperti Curug Cimahi, atau Curug Malela yang berarus deras. Air
yang jatuh dari puncak lebih tepat disebut percikan. Apalagi bila saat dulu
mampir ketika musim kemarau, air terjun ini menjadi tetesan.
Curug Cisanggarung Batu Templek Bandung |
Batu Templek di Curug Cisanggarung ini dikenal sebagai jenis batuan yang sering dipakai untuk dekorasi rumah. Selain karena kekuatannya, teksturnya pun sangat unik. Bahkan menurut Haryoto Kunto, sang kuncen Bandung dalam salah satu bukunya, Batu Templek inilah salah satu material yang digunakan untuk membangun Gedung Sate pada masa pemerintahan Kolonial Belanda.
Untuk
ukuran tempat wisata, Curug Cisanggarung ini memang terbilang sangat sepi. Dari
beberapa kali kunjungan saya ke tempat ini, saya tidak pernah bertemu dengan
pengunjung lainnya. Tempat parkir dan pos ticketing-nya
pun tak pernah ada yang menjaga, meski ada harga tertera. Alhasil, kunjungan
saya ke tempat ini selalu haratis.
Bagi yang
ingin mengunjungi Curug Cisanggarung Batu Templek Bandung ini, sebaiknya
menggunakan kendaraan roda dua yang kondisinya cukup prima. Selain karena
banyak jalan yang menanjak, lebar jalan pun agak sempit untuk menampung
kendaraan roda empat. Jalan menuju lokasi cukup mudah ditemukan di seberang Lapas
Sukamiskin. Namun pastikan untuk mengikuti plank petunjuk arah yang baru,
karena ia akan mengarahkan akses jalan yang lebih aman untuk dilintasi. Karena
sebelum ada plank-plank tersebut, saya selalu mengikuti jalur lurus melewati
jalanan berbatu dengan turunan tajam.
0 komentar:
Posting Komentar