Tanda dari
Wildan untuk saya bergerak sudah muncul melalui pesan singkat di whatsapp, padahal angka di sudut layar
gawai sudah menunjukkan pukul 22.30. Saya ragu, masih adakah tempat makan yang buka
pada jam tersebut. Tak berapa lama kemudian, Wildan pun membagikan lokasi
tempat tujuan wisata kuliner mala mini yang ternyata tak jauh dari rumah saya,
yaitu di kawasan Cibadak. Ya, pantas saja kalau Cibadak, jalanan yang dikemas
sebagai wisata Pecinan di Kota Bandung ini memang masih sangat hidup bahkan
hingga lewat tengah malam nanti.
|
Kobe Teppanyaki Cibadak yang selalu ramai pengunjung. |
Kobe
Teppanyaki adalah tujuan kami malam itu. Ironisnya, saya yang notabene
merupakan penduduk setempat, belum pernah mendengar nama tersebut, sehingga
saya sempat meragukan kualitas menu yang akan dihidangkannya. Apalagi, kawasan
Cibadak ini juga dikenal juga sebagai kawasan wisata kuliner yang banyak
menyajikan makanan non-halal.
Kekhawatiran tersebut dengan segera ditepis Wildan ketika bertemu di pertigaan
Jl. Cibadak dan Jl. Pajagalan yang merupakan lokasi dari lapak Kobe Teppanyaki.
Ia mengaku sudah memastikannya sebelumnya, karena ia sendiri pun cukup sering
mampir ke tempat tersebut bersama kawan-kawan Muslim lainnya.
Setelah
sampai di Kobe Teppanyaki, barulah saya langsung mengenali tempat ini.
Tempatnya sebetulnya cukup menyolok karena keramaian pengunjungnya, namun plank
namanya sendiri kurang dapat terlihat karena posisinya terlalu tinggi dengan
kondisi penerangan yang lebih condong ke gelap. Saya sendiri hampir setiap hari
selalu melewatinya saat pulang kerja.
Dapur Kobe
Teppanyaki ini bisa dibilang dapur tersibuk sepanjang kawasan kuliner Jl.
Cibadak. Lima sampai enam pegawai hampir selalu terlihat non-stop memasak di dapur yang sepertinya sengaja ditaruh di luar.
Pelayan yang hilir mudik, pengunjung yang keluar masuk, serta atraksi api yang
sesekali muncul dari penggorengan, seolah semakin ingin mendapat kepastian lirikan
setiap pejalan kaki, serta pengguna kendaraan yang melintas.
Satu jam
setengah menjelang pergantian hari, namun nampaknya tempat ini enggan
dikalahkan waktu. Suasana keramaiannya masih sama seperti pukul 8 malam. Karena
kali ini saya dijanjikan traktir oleh Wildan, maka saya hanya memindai buku
menu hanya sekilas mata. Cukup banyak, dan lengkap sepertinya hidangan Jepang
yang disajikan di sini. Mulai dari sushi,
sukiyaki, ramen, dan tentu saja teppanyaki
yang kemudian dipilh Wildan untuk kami bertiga, termasuk salah seorang
rekan kantornya yang ikut serta. Selain masakan Jepang, Kobe Teppanyaki juga
menyediakan aneka menu-menu Asia lainnya. Harganya kebanyakan berkisar di
antara Rp40.000-Rp60.000-an. Cukup tinggi memang harganya. Tapi itu hanya kesan pertama saja, hingga tiga porsi teppanyaki mendarat di meja kami.
Porsi teppanyaki yang dihidangkan sangat
banyak dengan komponen yang lengkap. Ada udang, cumi, daging sapi, daging ayam,
jamur, dan aneka sayur. Penyajiannya yang menggunakan hotplate juga menjadi daya tarik tersendiri. Tadi kami sempat melihat kobaran api yang sangat besar, hingga
seolah akan membakar habis tempat ini. Namun
rupanya, atraksi kobaran api tersebut adalah finishing movement dari proses masak teppanyaki, sekaligus sebagai tanda bahwa harus ada pelayan yang
segera membawakan hidangan tersebut ke meja sang pemesan. Hal ini untuk menjaga
kehadiran asap, aroma, serta gelembung-gelembung didih yang masih muncul di
permukaan pada lima menit pertama setelah dihidangkan. Secara visual, hal ini
memang menjadi sasaran para pengabdi instastory
yang tentu juga merupakan sebuah promosi cuma-cuma bagi restoran.
|
Satu porsi teppanyaki di Kobe Teppanyaki |
Tentunya,
bukan cuma soal tampilan. Karena dari segi rasa pun, saya rasa Kobe Teppannyaki
ini masakan Jepang terenak yang pernah saya makan. Racikan bumbu, serta kuahnya
menjadi pembeda. Rasanya tidak terlalu asin, ataupun kemanisan. Pas. Kuahnya
tidak encer, dan tidak terlalu kental, tapi bisa membuat seluruh komponen
makanan di dalamnya terasa lezat. Bahkan saat hotplate sudah hampir kosong pun, saya masih mengumpulkan sedikit
kuah yang masih tersisa untuk disuapkan ke mulut.
Pengalaman
kuliner yang berkesan di Kobe Teppannyaki ini cukup menjadi alasan untuk mampir
beberapa kali ke tempat ini dengan sobat lainnya, keluarga, dan si calon istri.
Dalam total empat kali kunjungan berikutnya ke sini, saya tetap memilih
Teppanyaki, sementara orang-orang yang saya ajak kemari direkomendasikan untuk
menyicipi menu yang lain. Tentu saja hal ini agar saya bisa menjajal rasa menu
yang lain, tanpa harus kehilangan kenikmatan menyantap teppanyaki yang segera sudah langsung menjadi salah satu hidangan
paling digemari.
Sama
seperti teppanyaki, menu-menu lainnya
seperti nasi goreng, kwetiauw, sukiyaki, tomyam,
dan steamboat juga memiliki ukuran
porsi yang sangat besar. Bahkan saat saya membawa kedua orang tua untuk makan
di sini, keduanya hanya mampu makan sepertiga dari makanan yang mereka pesan.
Untung saja, sisa makanannya dapat mereka diminta untuk dibawa pulang. Tak
butuh waktu lama untuk ibu mencintai makanan di sini. Hanya selang hitungan
beberapa hari, Ia sudah minta untuk diantar ke Kobe Teppanyaki untuk membeli
Tomyam secara take away, dengan
alasan sedang malas masak. Satu porsi Tomyam tersebut sudah bisa dibagi ke
dalam empat porsi untuk makan malam.
Bila
mencari makanan enak di Bandung, saya tentu akan merekomendasikan Kobe
Teppannyaki sebagai salah satu tempat tujuan rekomendasi di Bandung. Walaupun
memang dari segi tempat agak kurang nyaman. Tempatnya sebetulnya luas, namun
selalu dipadati oleh pengunjung. Hal ini membuat udara di dalamnya terasa
sangat gerah. Antrian yang selalu terlihat mengular, membuat kita merasa tidak
enak kalau harus terlalu lama diam di sana. Anyway,
poin plus lainnya adalah pelayanan yang tidak hanya cepat, tapi juga sangat
ramah. Di tengah ke-hectic-an suasana
di Kobe Teppannyaki, kita dapat melihat seorang ibu yang dapat mengatur flow pelayanan dengan sigap, serta
memberikan semangat, dan senyuman yang menular.
|
Suasana di Kobe Teppanyaki |
Kobe
Teppanyaki
Jl. Cibadak No. 101
Bandung