Dari semua
alat marketing yang digunakan Joko
Anwar untuk memasarkan Perempuan Tanah
Jahanam, cerita bahwa skenario film yang sejak awal dinamai Impetigore ini sudah ditulis sejak satu
dekade silam lah yang kemudian membawa saya menguji kejahanaman film ini.
Dengan harapan, film terbarunya tersebut bisa menawarkan sebuah cerita yang berbeda,
dari hanya sekadar jump scare yang
membosankan. Entah hal tersebut merupakan gimmick
semata, atau memang benar nyata adanya. Namun memang, unsur ini cukup bisa
Ia buktikan melalui film berdurasi hampir 120 menit tersebut.
Courtesy of Base Entertainment |
Sejak menit-menit pertama, suasana ketegangan memang sudah langsung dibangun dalam adegan yang sekaligus memperkenalkan sang tokoh utama Wanita, yakni Maya (Tara Basro), dan kawannya Dini (Marissa Anita) yang sama-sama berperan sebagai petugas ticketing jalan tol.
Lagu Pujaan Hati yang menjadi soundtrack film ini pun mengalun dalam adegan ini. Sama halnya dengan lagu Kelam Malam yang dipakai Joko Anwar di Pengabdi Setan, Pujaan Hati pun memiliki nuansa jadul nan creepy.
Lagu ini sempat viral beberapa waktu lalu di platform twitter karena dimunculkan dalam sebuah tweet oleh akun @howtodressvvell yang mengaku menemukannya dalam sebuah vinyl yang terkubur di halaman rumah. Joko Anwar pun turut me-retweet cuitan tersebut hingga seolah-olah tidak tahu menahu tentang lagunya, dan tertarik untuk memasukkan lagu itu ke dalam Perempuan Tanah Jahanam. Padahal, tweet tersebut hanya berselang sekitar tujuh hari jelang penayangan filmnya. Yang membuat idenya tersebut jelas terasa impossible untuk dieksekusi. Saya menyebutnya “seolah-olah”, karena beberapa hari kemudian penyanyi Pujaan Hati pun terungkap, bersamaan dengan fakta bahwa lagu tersebut adalah salah gimmick marketing ala Jokan. The Spouse yang juga melantunkan Kelam Malam-lah yang menyanyikannya. Akan tetapi, buat saya, keberadaan lagu ini dalam film, tidak sekuat Kelam Malam di Pengabdi Setan yang memang cukup membuat bulu kuduk bergidik.
Sebetulnya,
cerita awal Perempuan Tanah Jahanam ini
cukup klise untuk ukuran film horror,
yakni tokoh utama dan temannya yang tinggal di kota, mendatangi sebuah tempat
terpencil yang angker. Rasanya saya sudah banyak melihat yang seperti ini di film
Jaelangkung, Air Terjun Pengantin,
atau bahkan Midsommar. Yaa..karena Midsommar baru saja saya tonton beberapa
hari lalu, ada sedikit kesan yang membuat saya kemudian membandingkan kedua
film ini, hehe.
Tapi
sebenarnya, bagi saya ada satu hal tentang wanita hamil yang membuat saya
bertanya-tanya. Namun saya rasa memang harus dibuat seperti itu, agar alurnya
berjalan sesuai keinginan.
Namun
tentunya, menjelang pertengahan film, alur film ini berubah menjadi tak bisa
ditebak arahnya. Kepiawaian Ical Tanjung dalam mengarahkan sinematografi dari film-film
sebelumnya di Joko Anwar Universe menjadi jaminannya. Ada beberapa adegan yang kameranya
terlihat memfokuskan kepada hal-hal tertentu, sehingga saya mengira akan ada jump scare yang diikuti sebuah ‘kemunculan’, namun ternyata tidak ada apa. Di sini
Ical cukup berhasil memainkan emosi dan ketegangan penonton. Ia melalukan hal
ini secara konstan, dan dengan sangat perlahan melakukan scale up, sehingga tanpa terasa, ketegangan ini menjadi semakin menyesakkan
di akhir film. Saya sampai banyak-banyak menahan nafas ketika film mendekati
akhir. Tanpa bermaksud lebay, tapi
badan saya langsung terasa pegal setelah credit
title mulai bergulir. Nampaknya intensitas akting dan adegan yang dibangun
di akhir, membuat kepala dan badan saya menegang. :’D
Tapi
sebenarnya, bagi saya ada beberapa hal yang mengganjal, yaitu tentang intensitas kehamilan dan kelahiran yang tinggi di desa Harjosari. Namun saya rasa memang harus dibuat seperti itu, agar alurnya
berjalan sesuai keinginan. Lalu ada juga momen flash back yang saya rasa terlalu dibuat bertubi-tubi dalam satu adegan, sehingga terkesan buru-buru dalam menyelesaikan semua pertanyaan dan rahasia yang menggelayut dari sepanjang film.
Pada
dasarnya, Perempuan Tanah Jahanam merupakan
film horror yang ceritanya bukan
berfokus pada serangan jump scare hantu-hantunya,
tapi lebih menekankan kepada ketegangan konflik yang dibangun antar manusianya.
Film ini tak akan membuat kita menjadi takut akan hantu, tapi alangkah baiknya
untuk tetap tidak mengajak anak-anak, ataupun ibu hamil menonton ini. Karena
sepertinya akan sangat mungkin bisa memicu sebuah pikiran buruk dalam benak,
yang mungkin dapat berakibat depresi.
Untuk
akting, kehadiran aktris senior Chistine Hakim jelas menjadi sorotan. Setiap
kemunculannya memiliki karisma tersendiri. Tak banyak, tapi menghentak. Namun,
secara pribadi, untuk film ini saya lebih memfavoritkan penampilan Asmara
Abigail yang tampil jauh berbeda dari karakter-karakter yang ia perankan
sebelumnya. Sebagai perempuan Jawa, gestur dan tata cara bicaranya sangat
lembut. Kata-kata dan intonasi ucapannya terdengar jelas, dan berkarakter.
Terutama saat ia mengucapkan dua kata yang menjadi tagline dalam aktivitas promosi film ini, “Kerasa, nggak?”. Mungkin
kalimat tersebut akan menjadi dialog yang akan diingat banyak orang selama
bertahun-tahun ke depan. Dan, sepertinya Asmara cukup pantas untuk
dinominasikan sebagai Pemeran Pendukung Wanita Terbaik dalam berbagai festival
film yang digelar di Indonesia.
Kejahanaman film ini cukup membuat saya menunggu untuk menyaksikan Ratu Ilmu Hitam yang akan tayang bulan depan. Walaupun bukan Joko
yang turun langsung untuk membesut film tersebut. Tapi rasanya akan sangat
menarik untuk melihat bagaimana cerita yang dibangun dalam film itu melalui
skenario yang ditulisnya.
0 komentar:
Posting Komentar