Tujuan
terakhir saya di Tasik ini paling tak lazim dibandingkan dengan tempat-tempat yang
sebelumnya dikunjungi. Mentari Hati bukanlah sebuah kedai kopi, ataupun taman
kanak-kanak, apalagi judul lagu ciptaan Bung Fiersa. Nama tersebut melekat
kepada sebuah yayasan yang berfungsi sebagai mental hospital bagi para penderita gangguan kejiwaan yang
terlantar di Tasikmalaya. Dan tempat inilah yang kemudian direkomendasikan Wildan
untuk saya datangi pada hari pamungkas liburan saya April tahun lalu.
Baca juga: Explore Tasikmalaya Part 1: Tutug Oncom Benhil, dan Kuliner Rekomendasi Lainnya
Salah seorang Kawan Mentari Hati |
Mentari
Hati didirikan lebih dari satu dekade lalu oleh Pak Dadang Heryadi yang
merupakan mantan pegawai PLN. Melihat wajah dan perawakannya, ia masih terlihat
cukup muda, mungkin masih sekitar 40 tahunan. Itu artinya, saat dia memutuskan
untuk resign dari PLN, usianya
sangatlah muda. Pagi itu pun kami berbincang, berkenalan, sekaligus mendapat
banyak insight baru dari beliau.
Jangan
bayangkan sebuah rumah sakit layaknya seperti yang kalian lihat di film Joker. Karena Yayasan Mentari Hati
hanyalah sebuah rumah berukuran sedang, dengan halaman yang sangat luas. Semua
pasien di sini sama sekali tidak diketahui keberadaan keluarganya, sehingga tidak
memungkinkan bagi Pak Dadang sebagai pengelola mendapatkan biaya perawatan. Ia
mengaku bahwa pengelolaan yayasannya tersebut betul-betul mengandalkan donasi
dari relawan.
Setelah sowan, kami pun diizinkan untuk masuk ke
dalam lapangan. Dari gesturnya yang santuy,
nampaknya ini bukan kali pertama bagi Wildan berkunjung kemari. Sedangkan saya.
Saya berjalan mengendap dengan perasaan was-was, layaknya maling yang hendak menggondol
perhiasan emas dari lemari rumah orang. Ya, mau gimana lagi, ketemu satu
orang di jalan pun sudah ngeper duluan.
Nah ini harus berhadapan dengan 120 orang sekaligus dalam satu tempat yang
dibatasi pagar.
Tapi
rupanya, perasaan hati dag dig dug itu hanya muncul 30 menit pertama saja.
Detik, dan langkah selanjutnya yang ditempuh kemudian terasa lebih lepas,
ketika saya menyadari bahwa tak ada hal yang perlu ditakuti dari mereka. Mereka
pun manusia biasa. Awalnya, memang mungkin saya takut akan ada tindakan-tindakan
yang tak diduga. Tapi justru, tindakan yang diduga dari mereka itu sangatlah
hangat, dan manis. Saat mereka melihat kamera yang dikalungkan di leher saya,
dengan spontan mereka meminta foto, sambil saling berlomba berpose dengan gaya paling
gokil. Semakin lama saya berdiri di
sana, saya semakin merasa biasa saja, dan sedikit lebih bisa mendalami apa yang
mereka rasakan. Walau kadang, gerakan mereka tuh aneh, bagai hidup masing-masing, seperti terlihat tidak terkoneksi satu sama lain dengan orang, ataupun benda di sekelilingnya.
Suasana sarapan di Yayasan Mentari Hati |
Dari seluruh kawan-kawan Mentari Hati, tentu tingkah polahnya tak semuanya sama. Sama saja seperti kita di dalam sebuah lingkungan sekolah atau kantor. Ada yang bawel, lincah, pendiam, atau bahkan terlihat seperti seorang pemimpin bagi kawan-kawannya yang lain. Tapi memang, beberapa di antaranya ada yang terlihat agak lebih parah sakitnya, sehingga ketika ia diberi makan di atas piring plastik, ia sengaja menumpahkannya ke tanah, lalu memungut butiran-butiran nasi tersebut dari tanah untuk baru kemudian ia makan. Foto-foto yang saya pilih untuk ditampilkan di sini memang lebih memperlihatkan kawan-kawan yang secara gaya berpakaian, dan aktivitas, tampak lebih sehat. Tak tega rasanya untuk menampilkan foto yang terlalu ekstrim.
Setelah
hampir dua jam berada di area lapangan, saya dan Wildan pun keluar pagar.
Setelah saya keluar, ada seorang bapak dari dalam yang memanggil saya kembali.
Rupanya ia meminta diambilkan beberapa puntung rokok yang berada di sekitar
kaki saya. Padahal dia sendiri sedang merokok. Pak Dadang yang melihat kejadian
tersebut, melarang saya untuk memberikannya. Sepertinya bapak tadi mencoba
untuk memperpanjang kenikmatan dari menyesap rokok yang sebetulnya sudah sangat
pendek pula di jarinya. Namun, saya heran juga, kenapa ada banyak sekali
puntung rokok di sini. Apakah kawan-kawan Mentari Hati ini memang diizinkan ke
warung untuk beli garfit? Pak Dadang
pun berkilah mendengar dugaan saya. Ia bercerita hal ini dikarenakan banyak
supir-supir truk antar kota yang mangkal tepat di belakang yayasan ini. Saat
malam, mereka sering sekali menjadikan area depan yayasan ini untuk merokok,
dan mabuk-mabukan. Ia pun kemudian menunjukkan beberapa botol kaca yang
tergeletak beberapa meter dari tempat kita berbincang.
Karena
matahari sudah semakin tinggi, dan udara semakin panas, saya dan Wildan pun
kemudian mengucapkan terima kasih, dan berpamitan dengan Pak Dadang. Sungguh
sebuah pengalaman yang luar biasa bagi
saya pribadi. Kunjungan saya ke Mentari
Hati berhasil mengubah stigma yang
saya pendam terhadap kawan-kawan dengan gangguan kejiwaan, bahwa mereka
sebetulnya bukan untuk ditakuti, tapi untuk dibantu. Sebetulnya, saya sempat
diberi saran oleh seorang kawan di komunitas street photography di Bandung, untuk membuat sebuah project foto
mengenai hal ini. Dengan tujuan, dapat menularkan stigma saya yang sudah
berubah terhadap mereka ke lebih banyak orang. Namun hal ini, belum dapat
terwujud, dikarenakan keterbatasan waktu, energi, dan biaya. Mau bagaimanapun,
memang fotografi bukan pekerjaan utama saya. Tapi, semoga suatu saat nanti, ide
yang disarankan ini bisa saya perjuangkan.
Baca juga: Explore Tasikmalaya Part 2: Santri, Masjid, dan Cirahong
Baca juga: Explore Tasikmalaya Part 2: Santri, Masjid, dan Cirahong
Jl. K. H. E. Z. Muttaqin, Mangkubumi
Tasikmalaya
Donasi:
Bank Mandiri a/n Yayasan Mentari Hati Tasikmalaya 131.00.1199.7642
Contact Person: 0852 2322 3239 / 0852 2236 6615 (Dadang Heryadi)
0 komentar:
Posting Komentar