Kebetulan
saya menulis artikel ini di peringatan Hari Santri. Iya, Tasikmalaya yang tahun
lalu saya kunjungi ini memang dikenal pula sebagai Kota Santri. Lagu “Suasana
di Kota Santri” yang versi GIGI pun mengalun di kepala saat mencoba
mengingatnya. Setidaknya saat mampir ke daerah Manonjaya, suasana tersebut
terasa dengan pasti. Banyak sekali pemuda berkopiah, dan bersarung yang saya
jumpai di sekitar sini, termasuk ketika mengisi bensin, membeli pulsa, dan
jajan di Indomaret. Pun ketika sedang hunting
foto di Jembatan Cirahong. Hampir dalam setiap gilir lalu lintasnya,
terdapat kolbak berisikan santriwan atau santriwati. Baik yang menuju dari
Ciamis ke Tasik, ataupun sebaliknya.
Para Santri menyeberangi Jembatan Cirahong |
Anyway, Jembatan Cirahong ini merupakan salah satu bucket list tempat yang ingin saya
kunjungi sejak lama. Bukan hanya karena popularitas visualnya di Instagram,
tetapi juga karena ia memiliki pesona Intrinsik yang sangat kuat. Jembatan ini
merupakan satu-satunya jembatan kereta api Indonesia bertingkat, yang di bagian
bawah relnya sekaligus digunakan oleh kendaraan roda dua dan roda empat.
Saat
pertama kali melintasi jembatan yang didominasi warna biru ini, rasanya cukup
deg-degan, mengingat bagian bawahnya hanya menggunakan kayu sebagai jalur
kendaraan. Suara kayu yang berderit tiap kali ban mobil melaju satu putaran
memang menjadi sensasi tersendiri. Ketegangan bisa bertambah berkali-kali lipat
bila pada saat yang bersamaan, ada juga kereta yang melintas.
Kereta dan kendaraan roda melintasi Jembatan Cirahong. |
Dari segi
bentuk geometrisnya, Jembatan Cirahong ini memang terlihat amat menakjubkan.
Teralis yang saling bertautan sepanjang jembatan, menjadi daya tarik visual
dari jembatan ini. Maka tak heran, banyak orang yang berburu untuk berfoto di
tengah-tengah jembatan ini. Apalagi pada waktu pagi, dan sore hari, cahaya yang
jatuh di sela-sela teralis tersebut membentuk bayangan yang sangat indah. Namun
sayangnya, saat saya datang kemari, waktu sudah terlalu siang, sehingga cahaya
matahari sudah berada di atas kepala.
Selain
desain bagian sampingnya yang menarik, ada hal unik yang saya temukan dalam
rancangan Jembatan Cirahong. Hal itu adalah bentuk busur yang melengkung di
bagian bawah jembatan. Karena dari banyak jembatan kereta yang pernah saya
lihat, biasanya busur ini selalu ditempatkan di atas jembatan. Entah apa
fungsinya, mungkin teman-teman teknik sipil, atau arsitektur bisa menjelaskan?
Jembatan
Cirahong ini terletak di Kecamatan Manonjaya, tak begitu jauh dari Masjid Agung
Manonjaya yang tak kalah atraktif. Saya pun meminta Wildan untuk memarkirkan
mobil sejenak sebelum pulang di pelataran masjid ini. Masjid yang disebut-sebut
sebagai salah satu Masjid Tertua di Tasikmalaya ini punya bentuk yang sangat
unik. Bangunan utamanya sangat menonjolkan gaya masjid-masjid di Nusantara. Atapnya
bertingkat, dan runcing, sama seperti desain pertama Masjid Agung Bandung
sebelum kemudian dirombak oleh Bung Karno, ataupun Masjid Cipaganti. Sementara
berdiri tegak mengapitnya, terdapat dua bangunan menara yang saya rasa sangat
menunjukkan ciri bangunan-bangunan peninggalan Kolonial Belanda, terutama dari
jendela, pilar, serta sudutnya. Terlihat seperti menara De Vries, atau Gedung
Pensil kalau di Bandung. Tapi yang menariknya lagi, atap kedua menara ini sedikit
beraksen Tionghoa, sehingga agak nampak seperti pagoda. Cukup mirip dengan
menara eks Hotel Surabaya Bandung
yang menjadi latar cerita roman Rasia Bandoeng.
Masjid Agung Manonjaya |
Di samping Masjid Manonjaya, saya juga berkesempatan mampir sekaligus Salat Jumat di Masjid Agung Tasikmalaya. Berbeda dengan Masjid Manonjaya yang klasik, Masjid Agung Tasikmalaya sangat terlihat modern. Dengan warnanya yang didominasi emas, dan putih, masjid ini terlihat sangat megah, dan mewah. Ukurannya saya rasa lebih besar bila dibandingkan dengan Masjid Raya Bandung (Masjid Agung Bandung). Ia memiliki empat kubah berbentuk limas, serta empat buah menara yang mengelilinginya.
Walaupun
begitu, dari cerita sejarah yang saya dengar dari Wildan, sebetulnya masjid ini
juga adalah masjid bersejarah. Namun memang bangunan aslinya sendiri sudah
tidak ada, karena rusak parah. Maka dibangunlah bangunan masjid yang sekarang
sebagai penggantinya.
Sama
seperti konsep tata letak perkotaan di kebanyakan kota di Indonesia. Masjid
agung atau masjid yang paling besar, selalu berdampingan dengan alun-alun kota
yang menjadi jantung aktivitas warganya. Masjid Agung Tasikmalaya pun begitu. Tasik
memiliki alun-alun yang tak kalah indah dari Bandung, malah mungkin bisa jadi
lebih indah (karena lebih sedikit sampah berserakan). Pedagang asongan pun
seolah menjadi pelengkap, bahkan lebih seru.
Begitu
selesai Jumatan, beberapa pedagang, dan penjual jasa pun terlihat bergerak
aktif mendekat. Ada yang menjual barang kebutuhan sehari-hari, alat pijat yang boleh
langsung dipraktekkan ke badan, hingga yang paling menarik adalah tukang obat
sakit gigi dan pemutih gigi.
Suaranya
yang lantang dengan nada cepat, tapi jelas, cukup menjadikan ia pusat perhatian
oleh hampir semua orang di pelataran masjid. Kata-katanya yang mantap, dan
penuh dengan keyakinan, cukup bisa membujuk orang lain menjadi kelinci
percobaannya. Cara ia mempresentasikan produknya yang menyenangkan, dengan
cerdiknya, ia dapat menyelipkan candaan menggelitik yang tak membosankan. Saya
yang tak tertarik dengan produknya pun, ikut nimbrung bersama kerumunan, hanya
untuk mendengar ia berdagang sambil ber-stand
up ria. “Kade jang, geus diubaran teh ulah ngadahar es lilin. Kamari ge aya
budak molotok biwirna ngadahar es lilin, da lilinna keur hurung,” begitu bunyi
salah satu materinya yang disampaikan kepada seorang bocah. Receh memang, tapi menghibur.
Sambil
berjalan pulang menuju ke tempat parkir, Wildan sedikit bercerita bahwa bapak
yang tadi kami lihat itu juga pernah ia tonton dalam sebuah video Youtube.
Cukup dengan mengetikkan keyword “tukang
obat”, beberapa video yang menunjukkan kelihaian ia dalam berjualan pun muncul.
Salah satunya malah sudah mencapai ratusan ribu views.
Malamnya,
kami pun menyempatkan mampir kembali ke kawasan Masjid Agung Tasikmalaya. Sama
halnya seperti di Bandung, Alun-Alun yang berada di dekatnya pun masih sangat
hidup. Semakin malam, semakin banyak orang yang berjualan. Tapi memang itulah
ciri dari konsep Catur Gatra yang menempatkan pusat pemerintahan, masjid,
alun-alun, dan pusat perekonomian masyarakat di satu tempat. Kubah-kubah emas Masjid
Agung Tasikmalaya pun berpijar dengan indah.
Bagi yang
memang menyenangi sejarah, dan ragam arsitektur unik, saya rasa perlu menjadikan
Tasikmalaya sebagai salah satu tujuan jalan-jalannya.
Baca juga: Explore Tasikmalaya Part 3: Mentari Hati
Baca juga: Explore Tasikmalaya Part 3: Mentari Hati
Jembatan
Cirahong
Jl. Raya Cirahong, Manonjaya
Tasikmalaya
Jl. Raya Cirahong, Manonjaya
Tasikmalaya
Masjid
Agung Manonjaya
Jl. RTA Prawira Adiningrat, Manonjaya
Tasikmalaya
Jl. RTA Prawira Adiningrat, Manonjaya
Tasikmalaya
Masjid
Agung Tasikmalaya
Jl. Masjid Agung No. 01
Tawang, Tasikmalaya
Jl. Masjid Agung No. 01
Tawang, Tasikmalaya
0 komentar:
Posting Komentar