Hiruk pikuk
Braga Festival cukup membuat jengah, dan pusing kepala. Tak heran memang, kala
itu, event di Kota Bandung masih cawerang jarang-jarang, bagai daging di panci
sup meja prasmanan kondangan yang kita datangi saat injury time. Perhatian saya kemudian teralihkan kepada sebuah gang kecil
di tengah himpitan jalan Braga di mana ada 3-5 orang bergantian keluar masuk.
Beberapa mural cantik yang menghiasi sekeliling dindingnya semakin mengundang
saya untuk menjelajah lebih dalam. Seolah tak mau kalah dengan kebisingan panggung
Braga Festival 2012, alunan musik pun kian terdengar dalam setiap langkah yang
saya ayunkan ke depan.
Mulut Gang Apandi di Jl. Braga, Bandung |
Setibanya
di sumber suara, sebuah panggung dengan setelan Agustusan rupanya berdiri di
tengah-tengah gang sempit yang barusan saya lewati. Sebuah pertunjukan tari-tarian
yang diiringi kendang pencak, nampak
sedang ditampilkan. Riuh penonton yang tak henti-hentinya bersorak dan bertepuk
tangan, membuat ruang kecil berlatar bangunan tinggi di sekelilingnya ini
menjadi bergelora. Itulah kali pertama saya berkenalan dengan Gang Apandi.
Selama 20 tahun lebih berjalan-jalan di sekitaran Braga, baru kali ini saya
melihat kehidupan di baliknya.
Dokumentasi panggung perayaan Braga Festival 2012, di Gang Apandi. |
Potret kehidupan di Gang Apandi ini sebetulnya setali tiga uang dengan kawasan tempat saya tinggal. Lebar jalan yang hanya cukup untuk motor, deretan pakaian yang dijemur tepat di atas kepala, serta perbincangan dengan tetangga yang dilakukan dengan saling berteriak dari rumah masing-masing. Saya sendiri sering menyebutnya ‘Gang Seribu Punten’. Karena saat kita berjalan di daerah yang dikategorikan sebagai ‘Kampung Kota’ ini, hampir setiap meternya kita akan terus menyebut kata ‘punten’ kepada orang yang sebetulnya nongkrong di depan pintu rumahnya.
Dalam
beberapa bulan terakhir, hingga puncaknya awal September 2019 lalu, suara Gang
Apandi terdengar kian lantang, hingga mulai dikenal lebih banyak warga maupun
wisatawan di Kota Bandung. Sebuah spanduk petisi bertandatangan warga, serta bertuliskan
“Gang Apandi Harga Mati!!! Kami warga RW 08 Kelurahan Braga menolak penutupan
Gang Apandi,” membentang di bangunan bekas Toko Buku Djawa. Pemicunya adalah
sebuah mobil (yang sudah dikempeskan bannya) yang diparkirkan memblokir akses gang
pada 10 September 2019, dini hari. Hal ini sontak membuat warga Gang Apandi
geram. Persengketaan lahan yang terjadi selama beberapa tahun terakhir memang cukup
membuat panas suasana. Puluhan rumah pun perlahan telah dihancurkan dalam kurun
waktu satu tahun ke belakang. Sementara warga yang sudah kehilangan tempat
bernaungnya, tidak mendapatkan imbalan yang setimpal. Dalam perbincangan saya dengan
Pak Nana, Ketua RW 08, warga hanya mendapat penggantian Rp40 Juta yang mesti
dibagi kepada puluhan kepala keluarga.
Saya memang
cukup sering mampir ke Gang Apandi bersama kawan. Entah untuk memotret, ataupun
terlibat dalam sebuah obrolan panjang dengan warga. Warga di sini sangat ramah,
kami selalu diperbolehkan merekam aktivitas mereka, dan mengunggahnya di media
sosial. Tentu harapannya agar cerita kami ini dapat membuka mata masyarakat dan
pemerintah, bahwa ada sebuah ruang kehidupan di balik megahnya wisata Jalan
Braga.
Dalam
beberapa kali kunjungan saya ke Gang Apandi, sapaan saya terhadap warga selalu
berujung dengan sesi curhat mengenai
penolakan mereka terhadap rencana penutupan mulut gang tersebut. Selain karena terowongan
yang menjadi mulut gang ini merupakan bagian dari bangunan cagar budaya, gang
tersebut juga merupakan akses utama warga untuk pergi memakamkan jenazah,
ataupun mengungsi ketika ada banjir besar. Sejarah mencatat bahwa kawasan Gang
Apandi pernah beberapa kali mengalami banjir besar pada tahun 1952, awal
periode 80-an, hingga terakhir tahun
2009. Hal ini dikarenakan Kampung Apandi ini juga berbatasan langsung dengan
Sungai Cikapundung. Di samping itu, Kampung Apandi ini juga merupakan bagian
dari sejarah Bangsa Indonesia sebagai tempat bersembunyinya para pejuang
kemerdekaan.
Suasana di sisi perkampungan di Kelurahan Braga yang berbatasan dengan Sungai Cikapundung |
Di luar
permasalahan yang merundungnya saat ini, Gang Apandi memiliki latar belakang historis
yang tak kalah penting dengan Jalan Braga, yang sebetulnya dapat menjadi bagian
dari wisata sejarah di Bandung. Karena di perkampungan inilah, para pejuang
kemerdekaan bersembunyi dahulu. Tentu akan menjadi sangat menarik untuk ditelusuri,
bila seluruh pihak dapat bekerja sama mengemas sisi tersebut. Yang pasti, rute tour wisata tersebut jangan luput dari
aktivitas sarapan pagi dengan bubur ayam di mulut Gang Apandi yang rasanya
selalu tepat untuk mengawali hari.
Plakat Cagar Budaya Gang Apandi (maaf bila kurang jelas, karena memang objek awalnya saat motret bukan plakat ini) |
0 komentar:
Posting Komentar