Poster Gundala, Picture Courtesy: Jagat Sinema Bumi Langit |
Kehadiran
Cecep Arif Rahman sebagai aktor sekaligus penanggung jawab Koreografi di
Gundala, sepertinya memang menjadi jaminan mutu dari adegan laga yang disajikan.
Aksi-aksi pertarungan sekelas The Raid pun menjadi salah satu santapan lezat di
film ini, walaupun tidak sampai terlalu vulgar. Adegan-adegan yang melibatkan
darah di sini, selalu disamarkan dengan apik, tanpa menghilangkan intensitas
ngeri dan ketegangannya.
Dari segi
sinematografisnya, tentunya kualitas arahan Joko Anwar tak perlu diragukan
lagi. Film ‘Kala’ yang meraih Tata Sinematografis Terbaik pada FFI 2007 menjadi
salah satu buktinya. Bahkan, di bagian awal film, serta di beberapa bagian
lainnya, vibe-nya berasa ‘Kala’ banget. Tone warnanya pun sama-sama banyak menghadirkan warna kuning yang
hangat. Untuk kualitas visual efek nya pun terbilang cukup baik, dan tak
berlebihan. Walaupun ada satu adegan yang menurut saya sedikit agak kurang pas
penggunaannya, tapi masih bisa termaafkan.
Bagi saya,
hal paling menarik yang disuguhkan dalam film pertama Jagat Sinema Bumi Langit
adalah dari segi skenario, dan penceritaannya. Saya menangkap kesan bahwa film
Gundala ini ingin menyampaikan pesan tentang perlawanan rakyat. Mulai dari
adegan pertama film, hingga adegan penutup. Anyway,
adegan pertama film ini diawali dengan para buruh pabrik yang bentrok
dengan petugas keamanan perusahaannya. Adegan ini tampil juga di trailer ya, jadi ini bukan spoiler, hehe.
Lalu kita bisa coba menghitung berapa banyak kata ‘rakyat’ disebut sepanjang
film. Seolah ingin menegaskan sebuah pesan tertentu dari masyarakat bawah yang
berada di tengah bayang-bayang penguasa. Hal ini juga dapat terlihat dari
kostum Gundala yang benar-benar ditampilkan apa adanya, layaknya sebuah low cost cosplay. Bahkan, kadang Abimana
Aryasatya yang memerankan Sancaka, tampak terlihat sedikit aga kedodoran dalam
kostum Gundalanya. Namun bagi saya, kostum Gundala ini menjadi sebuah simbol personifikasi
atas rakyat kecil Indonesia yang hidupnya sederhana. Ketika ia berada satu frame dengan karakter antagonis Pengkor
pun, nampak sekali pesan ‘rakyat vs penguasa’ yang ingin coba disampaikan ke
penonton.
Selain soal
perlawanan rakyat, Joko Anwar juga menyelipkan pesan-pesan lain yang mungkin
menjadi keresahan banyak orang di Indonesia saat ini, seperti korupsi, suap,
dan hoax. Salah satu cara penyampaian pesannya pun sebetulnya sempat membuat
saya terheran-heran, karena membuat kasus yang diangkatnya seperti terlihat
bodoh. Saya baru memahami pesan, dan tujuan sebenarnya menjelang akhir cerita.
Justru cara ia memberikan pesannya ini sangatlah cerdas.
Sebagai
titik mula rentetan film Jagat Sinema Bumi Langit yang akan tayang di Indonesia,
Gundala menjadi awal yang menjanjikan. Joko Anwar berhasil menghindari
kisah-kisah stereotype superheroes yang
biasa disajikan Marvel atau DC. Ia
memberikan warna sendiri untuk Gundala. Walaupun dengan gaya intro logo Bumi
Langit di awal, serta keberadaan after
credit scene-nya sempat mengingatkan saya dengan film-film Marvel. Tentunya
saya mengharapkan, film-film Bumi Langit
selanjutnya bisa setidaknya sama, atau bisa lebih baik dari Gundala. Janganlah
seperti film DC yang belakangan justru lebih banyak mendapat ulasan buruk,
serta lebih banyak berita soal konflik yang terjadi antara elemen pendukung film.
By the way, konten after credit scene yang tayang, ternyata sesuai dengan dugaan saya,
hehe. Ingin tahu adegan apa yang muncul? Yaaa, tonton saja laah sendiri.
Aslinya penasaran banget, seseru itukah
BalasHapusIya, wajib nonton tuuh 😀
Hapus