Hingga
ceritanya diangkat ke layar lebar dan TV series
pada 2009/2010 lalu, mungkin sebelumnya kedekatan publik Indonesia dengan tokoh
Sherlock Holmes hanya sebatas bayang-bayang samar dari tokoh yang diidolakan Shinichi
Kudo di anime dan manga Detective Conan. Robert Downey Jr, dan Benedict
Cumberbatch dapat dibilang cukup berhasil memperkenalkan sosok detektif yang
dikisahkan tinggal di Baker Street 221b, London ini.
Photo Courtesy: Silver Pictures & BBC |
Bermodalkan
akting, cerita, dan cinematografi yang super apik, sisi kecerdasan Sherlock
dalam menganalisa kasus selalu tampak memukau, bak robot super pintar dengan
fitur berteknologi tinggi. Namun, dari kedua versi Sherlock zaman now tersebut, saya pribadi lebih
menyenangi cerita Sherlock versi BBC TV series
yang diperankan oleh Benedict Cumberbatch dibandingkan dengan versi film
Robert Downey Jr. Selain karena durasinya pun setara dengan film, di mata saya
Robert Downey Jr masih banyak terlihat seperti Tony Stark a.k.a Iron Man. Lalu
dari segi penyajian efek dan tata kamera pun, TV series Sherlock masih terasa
lebih unggul. Cara Benedict menyampaikan logika berpikir Sherlock melalui gaya
berbicaranya yang cepat dan dingin menjadi daya tarik tersendiri.
Saking kagumnya
dengan karakter Sherlock ini, saya bahkan membeli sebuah buku berjudul “99 Cara
Mengasah Intuisi Ala Sherlock Holmes” yang saya sesalkan kemudian. Memang
sebetulnya buku tersebut adalah sebuah buku psikologi populer biasa yang cukup
dilabeli “Cara Mengasah Intuisi”. Dengan ditambahkannya karakter Sherlock di judul,
memang memberikan daya tarik lebih. Apalagi memang karakter detektif tersebut
sedang naik daun kala itu.
Lama-lama,
saya pun mulai berpikir kalau karakter Sherlock itu sebetulnya nggak keren-keren amat. Malah sepertinya, Sherlock ini merupakan seseorang dengan
gangguan kecemasan. Dengan ia menghabiskan terlalu banyak waktunya untuk memperhitungkan
segala kemungkinan yang dapat terjadi, itu berarti ia seorang yang overthinking. Berbagai hal kecil dapat menjadi
bahan pikirannya, dan bisa dengan mudah membuatnya risau. Kesimpulan ini saya
ambil ketika saya berusaha mengatasi gangguan kecemasan yang sering menyerang
diri saya sendiri. Saya bukannya mencoba menyamakan diri dengan Sherlock yang
super cerdas, karena walau bagaimanapun, ia adalah karakter fiktif. Namun, hanya
saja saya sering mengalami pemikiran berlebih yang hadir diakibatkan karena
adanya sebuah detail kecil yang berubah dari suatu kebiasaan, atau sesuatu yang
terjadi di luar perkiraan.
Dulu, saya memang sempat memegang teguh sebuah pepatah yang kalau
tidak salah berasal dari seni perang Sun Tzu yakni “Siapa yang menguasai
informasi, maka ia akan menguasai dunia”. Mungkin saya salah mengartikan
pepatah tersebut, sehingga yang saya lakukan adalah mengisi terus informasi di
kepala saya sampai overload, dan
berakibat malah saya yang dikuasai informasi. Alhasil, saya menjadi banyak
menghabiskan waktu bergelut dengan informasi di kepala saya serta menjadi sumber
depresi bagi diri sendiri.
Belakangan ini saya mencoba membayangan bagaimana Sherlock
dengan ketajaman analisanya yang pasti ia dapatkan dengan mengatur kekayaan
informasi di dalam kepalanya yang ia sebut dengan mind palace. Tadinya, saya berharap bisa belajar darinya. Namun,
saya pun diingatkan kembali kalau ia ini hanya tokoh fiktif yang ceritanya bisa
dirangkai sedemikian rupa. Walaupun begitu, sebenarnya dalam semua episodenya,
Sherlock memang digambarkan sebagai orang yang mudah gusar. Bila diamati
kembali, karakternya ini memang sejak awal mengindikasikan seorang cerdas yang
juga memiliki gangguan kecemasan. Bahkan dalam cerita di novel ataupun
serialnya, Sherlock sempat tertangkap basah menggunakan narkoba untuk mendorong
kemampuan otaknya dalam memecahkan kasus.
Hal yang sama juga rupanya terjadi pada karakter Tony Stark di
Iron Man 3. Hal ini baru saya sadari, ketika menonton ulang film tersebut
beberapa waktu lalu. Tony Stark yang dikenal jenius, beberapa kali mengalami anxiety disturbs yang berujung pada panic attack. Hal ini dapat terlihat
juga dari banyak Iron Man suit yang
ia buat. Ia seperti selalu merasa tak aman, sehingga jumlah armor-nya telah mencapai angka di Mark
42. Ia juga selalu membuat banyak rencana dan project yang sudah disesuaikan dengan keadaan darurat tertentu.
Dari sini, saya mulai berpikir bahwa memang kecerdasan ataupun informasi yang
melimpah itu selalu berada di ambang batas yang tipis dengan kecemasan.
Bicara soal gangguan kecemasan yang saya alami, mungkin bagi
orang yang sudah banyak berada dekat dengan saya pernah beberapa kali melihat
saya berbicara sendiri. Bahkan saat bekerja di sebuah bank asing tahun 2012-2013
lalu, seorang teman pernah menganggap bahwa saya adalah seorang Indigo. Hal ini
tak terlepas dari kebiasaan saya yang seringkali seperti sedang berbicara
dengan seseorang yang invisible.
Padahal, ketika tanpa sadar saya melakukan hal itu berarti saya sedang
mengingat sebuah adegan dialog di masa lalu, atau sedang membayangkan adegan
perbincangan dari sebuah pertemuan yang akan terjadi. Saat itulah kemudian saya
justru baru mulai menyadari bahwa saya mengalami gangguan kecemasan.
Ketika saya cemas menghadapi sesuatu, saya mulai
membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa yang akan
datang. Good things dan bad things-nya. Namun sayangnya, lebih
banyak bad things yang saya pikirkan,
yang sebetulnya lebih banyak tidak terjadi. Tanpa sadar, kepala saya mencoba
membayangkan kejadian pada waktu mendatang tersebut dengan benar-benar mensimulasikannya
lewat kemungkinan dialog-dialog yang akan terjadi. Dan karena memang saya punya
kebiasaan melafalkan sesuatu yang saya baca atau pikirkan, maka mungkin orang
akan melihat saya seperti sedang berbicara sendiri. Fakta lainnya yang baru
saya sadari. Ternyata Ibu saya pun mempunyai kebiasaan yang sama.
Tulisan ini saya buat sebetulnya untuk menjadi terapi
tersendiri untuk saya. Untuk mengurai satu per satu kebutekan yang sudah overload
di kepala ini. Hal ini juga baru saya sadari ketika saya lama tak menulis di
blog pribadi. Overthinking yang
sempat mereda, kemudian muncul kembali dengan begitu masif. Yang efeknya juga
berimbas kepada kenyamanan tidur. Rasanya kepala saya ini bagaikan laptop Intel
Pentium dengan puluhan tab terbuka di sistemnya. Jadi, saat ini saya sih sudah
ogah menjadi seperti Sherlock Holmes. Cukup menjadi versi diri yang lebih
bersyukur dan bahagia sambil berjuang, tanpa harus dibebani terlalu banyak target
yang harus dicapai. Bukan berarti menyerah, tapi yaa.. kalau kata The Beatles, “Let
it be.”
0 komentar:
Posting Komentar