Beberapa tahun
lalu, saya mulai berhenti mencetak foto yang saya ambil. Sebagai gantinya,
aktivitas mencetak foto tersebut dialihkan menjadi aktivitas posting di
Instagram. Tentu saja rasanya memang berbeda. Tapi yang pasti, cukup dapat
memangkas biaya yang harus keluar dari mencetak foto. Namun tidak begitu dengan
ayah saya yang hingga hari ini tetap rajin mencetak foto yang ia ambil melalui gawainya.
Saya rasa, memang perbedaan generasi cukup berpengaruh.
Hasil foto menggunakan kamera Instax SQ10 |
Ngomong-ngomong
soal Instagram, mungkin kita semua masih ingat bagaimana platform social media
tersebut pertama kali hadir di perangkat telepon pintar. Semua foto yang
diposting wajib berbentuk square, alias,
keseluruhan sisinya haruslah memiliki ukuran yang sama. Hal ini memang
tercermin dari bentuk logonya yang mengambil wujud sebuah kamera polaroid yang
juga menghasilkan foto berformat bujur sangkar. Setelah aturan foto square dihapuskan Instagram, otomatis feel menggunakan aplikasi foto yang satu
ini pun menjadi berubah. Namun, pengalaman memotret dengan aturan format square tersebut, kembali bisa saya
rasakan dalam acara hunting photo
bersama Instax Indonesia di Car Free Dago Bandung yang diadakan pada 14 Juli
2019.
Sebagai
bekal nyetrit saya pagi itu, saya
juga diberikan satu pak Instax Square Paper yang berisikan 10 kertas cetak. Cara
memasang ‘peluru’ tersebut di kamera, bisa dibilang cukup mudah. Tidak seperti
bila kita memasang roll film pada kamera analog yang harus lebih berhati-hati. Kemudian
saya dan peserta yang lain ditantang untuk membuat seri foto dari aktivitas
yang sedang berlangsung di Car Free Day Dago. Karena cuaca cukup cerah, saya
pun memutuskan untuk membuat seri foto bertemakan bayangan.
Jepretan
pertama saya rupanya tak semudah yang dibayangkan. Hampir sepuluh menit
berlalu, saya hanya berdiri di satu titik di Taman Cikapayang dengan
mengarahkan kamera ke salah satu batu bulat yang sering dilintasi pejalan kaki.
Beberapa momen menarik pun terlewatkan, karena saya terlalu takut untuk menekan
tombol rana. Kondisi ini sepertinya akan sangat berbeda bila saya memegang
kamera Fujifilm X-M1 yang biasa saya gunakan. Hingga akhirnya, momen pertama
yang saya dapatkan dari kamera instax ini adalah bayangan seorang anak (yang
mungkin) bersama bapaknya sedang berlari.
Setelah
momen pertama tersebut, langkah saya selanjutnya menjadi lebih ringan dan
berani dalam mengambil momen. Saya pun berjalan hingga ujung area Car Free Day
Dago yang baru saya ketahui bahwa kini area di ujung utaranya telah memendek ke
Jl. Dayang Sumbi dari yang sebelumnya berada di Simpang Dago.
Tanpa
terasa waktu dua jam pun telah terlewati. Foto yang saya ambil ternyata lebih
dua, sehingga saya harus memilih foto-foto mana saja yang akan saya cetak.
Proses developing-nya ternyata cukup
mudah. Dengan satu hingga dua kali klik saja, selembar kertas foto pun perlahan
keluar dari bagian atas kamera dengan kondisi putih bersih, tak ada image yang muncul. Namun hal ini
merupakan hal yang wajar, karena selanjutnya akan ada proses developing dari photo paper tersebut untuk menampilkan gambar.
Setidaknya,
butuh sekitar tujuh menit untuk gambar dapat tampil dengan sempurna. Walaupun gambar
sudah selesai ter-develop, ternyata tetap
ada sedikit perbedaan tone, serta feel yang muncul, antara image yang ada di
preview LCD dengan hasil foto yang
dicetak. Warna yang dicetak di kertas foto saturasinya terasa lebih light. Warna hitam pada bayangannya pun
nggak ngageblak, kalau dalam istilah Bahasa
Sundanya mah. Mungkin agak mirip bila
foto kita edit menggunakan filter-filter di
aplikasi VSCO. Tapi, entah kenapa,
saya justru lebih menyukai hasilnya. Hal ini menjadi sesuatu yang tak diduga-duga.
Dan entah kenapa, emosi dalam fotonya pun jauh lebih terasa. Tidak seperti bila
kita mencetak secara digital, ataupun mencetak foto dari roll film. Saya pun
tidak tahu apakah karena ukurannya yang kecil, atau karena space putih yang membingkai
foto square ini memberikan pengaruh
terhadap citra foto atau tidak. Rasanya lembar-lembar foto ini mengingatkan
saya kepada film Memento karya Christopher Nolan yang menjadi kunci dari alur
cerita pada film tersebut.
Semakin
tinggi matahari naik, semakin dekat juga waktu saya untuk berpisah dengan kamera
Instax SQ10. Yang pasti, ada sedikit sesal bercampur kesal dengan mengikuti
acara ini. Karena setelahnya saya jadi benar-benar ingin memiliki sebuah kamera
Instax untuk sekali-kali ‘nyetrit’ atau
membuat foto seri dari kamera tersebut. Semoga bisa berjodoh.
0 komentar:
Posting Komentar