Sejak
pertama mendengar nama “Big Bad Wolf”, pikiran saya sudah langsung tertuju pada
sebuah dongeng ternama berjudul Red
Riding Hood. Ternyata, saya memang tak salah ingat. Nama karakter yang kemudian
digunakan oleh sebuah event bazaar
buku ini memang berasal dari cerita tersebut. Hal ini terjawab saat saya melihat
sebuah baligho tentang komunitas charity bernama
Red Reading Hood di venue event tersebut
di Bandung. Namun ketika itu, saya belum dapat menemukan alasan antara pemilihan
nama Big Bad Wolf untuk sebuah acara buku, kecuali namanya yang terdengar cukup
badass untuk dilabeli sebagai event bazaar
buku terbesar di dunia.
Suasana Big Bad Wolf Bandung di Mason Pine Hotel, Kota Baru Parahyangan, pada Sabtu (29/6) malam. |
So, sejujurnya, awalnya saya tak begitu tertarik
dengan event ini, dengan alasan buku-buku yang dijualnya kebanyakan berbahasa
Inggris. Itu artinya, akan butuh usaha lebih untuk menikmati buku-buku tersebut
sepulang kerja. Jangankan yang berbahasa Inggris, buku-buku karya penulis luar yang
terjemahannya kaku pun sangat sulit untuk dicerna otak yang sudah lelah bekerja
seharian.
Namun pada
akhirnya, hype yang dibagikan
teman-teman di social media, berhasil membuat saya memacu Revo hijau kesayangan
ke Mason Pine Hotel, Kota Baru Parahyangan, pada sabtu malam kemarin. Yah,
hanya sekadar memuaskan rasa penasaran dengan melihat suasananya, lalu pulang.
Tapi ternyata, adegan yang direncanakan, tidak menjadi kenyataan. Malam itu
saya terjebak rayu si serigala besar jahat dengan membeli dua buah buku foto
karya dua fotografer ternama dunia, yakni Empty Quarter karya Steinmetz, dan
Beijing: Contemporary and Imperial, karya Lois Conner. Saya sendiri tak
menyangka dapat menjumpai ada buku foto di antara begitu banyaknya tumpukan
buku yang dihadirkan di sini. Karena memang passion saya di fotografi, serta
buku foto tentu tidak akan terlalu banyak menguras energi untuk menikmatinya, section art & photography section
menjadi sudut favorit saya malam itu. Pada saat itu, saya pun mulai menyadari
arti nama Big Bad Wolf ini mungkin memang benar jahat dalam artian akan
menguras dompet siapapun yang datang ke tempatnya.
Beberapa buku art & photography impor yang dijual di Big Bad Wolf Bandung 2019. |
Memang dibanding
cerita kawan-kawan yang sudah terlebih dulu merasakan ‘kekejaman’ Big Bad Wolf,
jumlah dua buku yang kemudian saya bawa pulang memang tidak ada apa-apanya.
Walaupun begitu, semurah-murahnya buku foto, harga per bukunya pasti memiliki
nominal yang cukup lumayan. Total saya menghabiskan Rp325.000 untuk dua buku
foto tersebut yang saya rasa nilai sebenarnya mungkin bisa menyentuh angka lebih
dari 1 juta rupiah. Selain memang effort fotografer
yang pasti tidak mudah ketika membuat buku tersebut, nilai instrinsik yang
melekat pada buku-buku ini pasti melebihi harga jualnya. Kedua buku ini dikemas
dengan sampul hard cover, serta
dicetak di atas lembaran kertas berkualitas sangat baik. Hal ini sangat penting
bagi sebuah karya foto, agar foto yang ditampilkan benar-benar sesuai dengan
hasil jepretan dari kamera fotografer.
Ternyata,
di samping buku-buku berbahasa Inggris, Big Bad Wolf di Bandung juga menghadirkan
beberapa sudut yang memajang buku-buku berbahasa Indonesia. Salah satu yang
menarik perhatian saya adalah buku autobiography
Bung Karno yang ditulis oleh jurnalis Cindy Adams. Buku ini termasuk buku populer
yang banyak dijadikan rujukan literasi bagi yang ingin mengetahui lebih dalam
mengenai presiden pertama Republik Indonesia tersebut. Harga yang tertera di
sampul buku ini hanya Rp67.500. Namun, segala perhitungan kebutuhan hidup saya untuk
bulan depan yang ada di kepala berhasil mendorong tangan saya untuk
mengembalikan buku tersebut ke tempatnya, sebelum mencapai kasir. Lama, saya
mengincar buku ini. Tapi saya yakin suatu saat akan dipertemukan. Barangkali, dengan
melalui voucher gratis yang dibagikan oleh Big Bad Wolf Bandung *ehm.
Pendapat
saya mengenai event pertama Big Bad
Wolf di Bandung ini saya kira sangat sukses. Saya kagum dengan bagaimana
penyelenggara merancang dan mengelola acaranya, hingga terbentuk alur yang
kunjungan yang sistematis dan teratur. Dari main
hall menuju ke kasir yang berada di hall
berbeda lokasi, sudah dibuat jalur yang disekat, sehingga pengunjung bisa
dipastikan tidak akan nyasar ke
mana-mana. Namun tetap, sepanjang jalur menuju kasir pun ada beberapa stand buku yang disediakan, yang
sepertinya bertujuan untuk mengantisipasi siapa tahu kita mau ‘nambah’, yaa
tiga atau lima buku ke dalam trolley belanjaan.
Sesampainya
di area kasir, setiap pengunjung yang sudah sampai di ujung depan antrian akan
ditanya mengenai cara pembayaran yang akan digunakan. Hal ini akan menentukan
ke mana mereka akan diarahkan. Begitu ada kasir yang mengangkat tanda counter-nya sudah kosong, maka customer pun akan diantar langsung untuk
merampungkan proses perbelanjaan buku. Tapi memang dasar si big wolf yang super bad, ia tak membiarkan kita lolos begitu saja. Di area keluar
terdapat sebuah counter yang khusus
menjual merchandise menarik, seperti
pembatas buku magnetik yang salah satunya kemudian saya bawa pulang.
Keluar dari
area hotel, kaki-kaki yang lelah, dan badan yang penuh peluh ini diantarkan
menuju 20 stand food & beverages yang
menunggu untuk dijajal. Beberapa meja dan kursi pun telah disiapkan untuk
menyantap pesanan, sekaligus mengisi energi untuk pulang.
Karena tak
kebagian lahan parkir yang berjubel hingga ke jalan, saya pun harus memarkir
kendaraan di titik yang lumayan jauh dari area hotel. Namun bila harus digelar
di pusat Kota Bandung, saya tak yakin ada tempat yang bisa mengakomodir semua
kendaraan pengunjung event ini. Maka dari itu, bagi saya, pemilihan venue event untuk acara perdana Big Bad
Wolf di Bandung ini terbilang sangat tepat. Memang lokasinya sangat jauh dari
pusat kota, tapi tempat ini bisa diakses cukup mudah bagi pemilik kendaraan
roda empat, dengan menggunakan jalan tol. Wisatawan luar kota pun bisa dengan
mudah mencapainya. Saya pribadi menilai bahwa event ini telah memiliki sebuah standar kualitas yang bisa ditempatkan
sebagai sebuah gelaran pariwisata. Dari antusiasme publik terhadapnya, maka tak
heran bila tak lama setelah event tersebut
diumumkan akan hadir di Bandung, akun-akun Instagram yang menawarkan jasa titip
(jastip) buku secara serius pun bermunculan. Bandingkan saja dengan bazaar buku
di Braga, jastipnya paling satu atau dua buku saja melalui sobat terdekat
dengan imbalan secangkir kopi dan sepiring gorengan.
0 komentar:
Posting Komentar