Sore itu,
langit begitu cerah tanpa cela. Bahkan sinar mentari pun dapat dengan mudahnya
menyingkap jalanan menuju Maroko yang berselimutkan debu. Seharusnya, buff atau
masker memang menjadi perlengkapan wajib para pemotor yang melintasi daerah
ini. Saya tidak dapat mengenakannya, karena seringkali mengakibatkan kaca mata
saya menjadi berembun. Memang ini salah satu derita si mata empat.
Senja di Dermaga Maroko |
Maroko
adalah sebuah negara Timur Tengah yang memiliki gurun, pantai, dan pegunungan
terjal secara bersamaan. Di Jawa Barat sendiri, nama Maroko sempat melejit,
ketika pada tahun 2006 silam, klub sepak bola Persib Bandung sempat kedatangan
pemain yang berasal dari negara ini. Namun, perjalanan saya kali ini bukan ke Maroko
yang menjadi kampung halaman Redouane Barkaoui, tapi ke sebuah kampung di
kawasan Cililin, Kabupaten Bandung Barat yang kebetulan bernama persis sama dengan
negara yang terletak di ujung utara benua Afrika tersebut.
Nama
Kampung Maroko pertama kali saya dengar dari rekan kerja saya di kantor yang
kebetulan memang besar di sini. Menurutnya, tak banyak yang istimewa di Maroko,
selain keberadaan dermaga yang berhadapan langsung dengan salah satu sisi Waduk
Saguling. Namun bagi saya, itupun sudah cukup. Pekerjaan baru saya yang kini
lebih banyak berada di belakang layar laptop, membuat saya benar-benar
membutuhkan perjalanan ini.
Saya
berangkat dengan motor dari tempat tinggal di Pagarsih pada pukul setengah empat
sore, dan baru sampai di Dermaga Maroko pada pukul setengah enam sore. Sungguh
perjalanan yang ternyata cukup melelahkan dan bikin pegal. Padahal sebetulnya
tidak perlu menghabiskan waktu selama itu bila menggunakan jalur Cipatik atau
Leuwi Gajah. Namun sayangnya, jalur Cimareme adalah satu-satunya jalur yang
saya ketahui, dan hapal benar. Saya tak berani ambil jalur lain, karena ada
resiko nyasar yang dapat menyebabkan saya sampai di tempat setelah maghrib.
Tadinya
sih, saya berniat datang ke Maroko ini setelah salat subuh. Sengaja memang,
agar sekaligus dapat membingkai momen saat matahari terbit. Namun karena belum
hapal betul jalurnya, akhirnya waktunya digeser ke sore hari untuk berburu
senja. Lokasi yang dituju ini kebetulan berada di arah barat, sehingga memang
perjalanan bermotor kali ini layaknya mengejar matahari. Sedikit takut juga kalau-kalau
saat sampai, kondisi sudah gelap.
Semakin
saya memacu motor ke arah barat, jalan pun terasa semakin mengecil. Dari lebar
jalan yang tadinya muat dua mobil, kini sepertinya hanya cukup satu mobil saja dengan
menyisakan sedikit space yang mungkin
dapat berdampingan dengan satu motor. Sesampainya di dermaga, saya kemudian
buru-buru mengeluarkan kamera dari tas, karena posisi matahari saat itu sudah
hampir tenggelam di antara dua gunung.
Sedang
asyik-asyiknya memotret, seseorang menepuk punggung saya. “Bade kamana a?” tanyanya.
“Ah, ieu weh pak, bade popotan hungkul, hehe,” jawab saya. “Pami bade nyeberang,
tiasa ka abdi,” balas bapak tersebut. Rupanya bapak ini merupakan pemilik dari
salah satu perahu yang banyak ditambatkan di sini. Rupanya bapak ini merupakan
pemilik dari salah satu perahu yang banyak ditambatkan di sini. Dari tempat
saya berdiri memang terlihat ada sebuah rumah makan yang sepertinya sengaja
dibuat berada di tengah-tengah danau sebagai tujuan pengunjung atau wisatawan.
Malah sebetulnya, menurut bapak pemilik perahu, ada empat rumah makan serupa yang
tersebar di area danau ini yang berbaur dengan beberapa bangunan tambak ikan. Walaupun
begitu, memang untuk kategori tempat wisata, Dermaga Maroko ini terbilang sepi.
Mungkin karena selain lokasinya yang cukup antah berantah bagi sebagian orang, namanya
pun tak banyak diketahui. Saat itu, saya pun melihat hanya ada sekitar 5-6
mobil berplat B yang berisikan rombongan keluarga.
Awalnya
setelah beres memotret momen senja, saya ingin mencoba berkeliling juga dengan
salah satu perahu yang disediakan, dan menyantap makanan tradisional Sunda di
salah satu rumah makan terapung di situ. Namun karena tampaknya rumah makan yang
ada diisi oleh rombongan wisatawan, saya pun mengurungkan niat. Walaupun
sepertinya masih ada beberapa meja tersisa di rumah makan tersebut, tapi akan
menjadi sangat canggung rasanya bila ikut makan sendirian bersama mereka di
sekelilingnya. Idealnya, satu rumah makan diisi oleh satu rombongan keluarga besar
saja pada satu waktu.
Untuk harga
menu makanannya, rentangnya mulai dari Rp40.000 per orang. Harga tersebut sudah
termasuk satu bakul kecil nasi, ayam goreng/bakar, serta tahu dan tempe.
Setidaknya itu bocoran menu yang saya dengar dari salah satu pemilik perahu di
Dermaga Maroko. Mungkin hidangan yang ditawarkannya mirip-mirip dengan setelan yang
ada di Punclut. Ya, mungkin untuk selanjutnya, saya akan langsung mencobanya,
dan tentunya tidak akan datang sendiri lagi, haha.
By the way, biaya sekali jalan naik perahu di sini hanya
Rp5.000. Perahunya akan tetap berjalan, walaupun dengan penumpang satu penumpang
saja. Selain itu, foto-foto di sini pun tidak dikenakan biaya. Sebetulnya saat
ditegur oleh salah seorang pemilik perahu, saya sempat takut kalau-kalau
memotret di tempat ini berbayar dengan nominal cukup tinggi. Namun untungnya,
hal tersebut tidak terjadi. Para pemilik perahu, serta warga sekitar yang
melihat saya memotret, tampak santai saja melihat saya mengulik settingan kamera,
dan memasang tripod. Sebelum pulang, saya juga sempat mendapat sebuah cerita dari
salah seorang pemuda yang juga menjalankan jasa penyeberangan dengan perahu tentang
kampung Maroko yang awalnya bernama Cimaroko. Namun dia sendiri pun tidak tahu
arti dari nama tempat tinggalnya tersebut. Mungkin karena sepertinya dia masih
muda. Andai saja saat itu saya dapat bertemu tetua kampung, barangkali ada
kisah lain yang bisa digali. Yang pasti, dulunya dermaga ini merupakan Pasar
Aci. Sesuai dengan namanya, “aci” di
sini merupakan Bahasa Sunda dari tepung yang terbuat dari singkong, atau dengan
kata lain tepung tapioka. Jadi Pasar Aci di sini merupakan tempat berjualan
tepung aci. Sayangnya, kini Pasar Aci
sudah tidak khusus menjual tepung aci,
tetapi menjadi pasar yang berjualan bahan-bahan kebutuhan sehari-hari pada
umumnya. Uniknya, pasar tersebut hanya digelar pada hari Selasa dan Jumat saja.
Rombongan keluarga yang tengah menyewa perahu untuk menyeberang ke rumah makan. |
So, buat yang mencari tempat untuk bersantai
bersama keluarga, saya rasa Dermaga di Kampung Maroko ini bisa menjadi tujuan alternatif
dibandingkan tempat wisata populer lainnya. Namun, kalaupun suatu saat dermaga
ini mulai ramai dikunjungi wisatawan, ada baiknya untuk menghindari pembuatan spot
selfie secara berlebihan. Walaupun memang bisa memberikan dampak ekonomi bagi
warganya, akan tetapi dari banyak tren saat ini, hal tersebut banyak memicu
kerusakan alam, dan sebetulnya juga merusak keindahan secara visual dari alam
itu sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar