Pagi hari kedua, kami pun merasa cukup beruntung
karena mendapat kesempatan untuk melihat proses pembuatan rumah salah satu
warga yang hanya membutuhkan waktu 1-2 hari saja untuk selesai. Walaupun
kelihatannya sederhana, tapi untuk membangun sebuah rumah perlu uang sampai
puluhan juta, setidaknya begitu yang diceritakan A Kasim, salah seorang warga
Kampung Gajeboh yang rumahnya kami tinggali semalam.
Salah seorang warga Baduy menyeberangi jembatan bambu di kawasan Kampung Gajeboh |
Baca dulu: Catatan Ingatan dari Tanah Baduy | Part 1
Dia pun melanjutkan bahwa biasanya, rumah adat yang terbuat dari potongan bambu, kayu, dan bilik ini dapat bertahan hingga 5-6 tahun. Setelah melewati setengah dekade, biasanya ada beberapa bagian rumah yang harus direnovasi. Namun, hal yang cukup mengagumkan dari pembangunan rumah ini adalah ketika warga ada yang membangun rumah, tanpa harus diminta, seluruh warga pun akan membantu. Kebiasaan inilah yang mungkin sudah sulit ditemukan di lingkungan sekitar kita sehari-hari.
Pembangunan rumah adat di Baduy Luar yang dilakukan secara gotong royong |
Di kawasan pembangunan rumah, kami lalu bertemu dengan Mbah Nasinah. Sosok ini menarik perhatian kami karena dari wajahnya ia nampak yang dituakan di kampung. Tetapi, kami tak pernah membayangkan kalau usianya telah mencapai 100 tahun. Berjalannya masih tegak, giginya masih rapih dan lengkap. Tak sulit juga berkomunikasi dengan beliau ini, pendengarannya baik, bicara pun lantang. Dengan bahasa Sunda, saya coba bertanya mengenai rahasianya memiliki umur awet muda.
Ia pun menjawab, "banyak ketemu yang cantik-cantik aja," jawabannya pun cukup membuat kami tertawa lepas.
Rupanya ia lancar juga diajak bercana. Saat ini Mbah Nasinah telah memiliki tiga orang anak yang semuanya telah menikah dan memberikan cucu untuknya. Salah satunya kini tinggal di Cicaheum, Bandung, bersama suaminya. Namun tentunya, karena sudah tinggal di kota, anaknya itu sudah bukan menjadi bagian dari orang Baduy.
Mbah Nasinah, salah seorang warga Baduy Luar yang dituakan di kampung |
Jelang siang hari, sinar mentari pun terasa semakin terik, beberapa kawan memilih untuk stay di tempat pembangunan rumah adat untuk mengambil beberapa foto, sementara saya dan sebagian kawan lainnya mencoba menjelajahi perbukitan sekitar.
Seusai mandi dan bersantap siang, akhirnya kami harus mengucapkan sampai jumpa kepada A Kasim, Mbah Nasinah, dan Kampung Gajeboh. Sesampainya nanti di Ciboleger, mungkin kami memang akan kembali menemukan sinyal, listrik, dan berbagai hal yang terpaksa kami tinggalkan. Akan tetapi, kampung ini dan segala kearifan lokalnya akan selalu membuat kami rindu.
Saya pun jadi kembali mengingat wajah Mbah Nasinah yang tertawa bahagia dengan usianya yang telah mencapai seabad lebih. Sepertinya, rahasia kebahagiaan dan panjang umurnya ini berasal dari kebiasaan warga Baduy yang jauh dari modernisasi. Tak ada Instagram dan televisi, yang berarti tak banyak kemewahan yang kemudian harus diamati dan dicari. Inilah oleh-oleh yang kemudian kami bawa pulang ke rumah masing-masing.
Ciri khas berpakaian warga Baduy Dalam |
Perjalanan pulang ke Ciboleger dari Gajeboh tentu kami tempuh kembali dengan berjalan kaki, melalui jalur yang sama, namun dengan cerita yang berbeda. Di tengah jalanan sepi yang rimbun dengan pepohonan, kami bertemu dengan seorang ibu yang sedang menggendong anaknya. Saat itu, kami tak menyangka bahwa ibu tersebut akan mengikuti kami hingga Ciboleger yang kemudian memberikan sebuah ingatan yang tak mungkin kami lupakan dalam perjalanan ini.
Tulisan ini telah dimuat sebelumnya di: https://travel.detik.com/dtravelers_stories/u-4186613/sebuah-kisah-perjalanan-dari-tanah-baduy
0 komentar:
Posting Komentar