“Mun acarana macam kieu mah, sok rawan aya nu garelut
geura,” (kalau acaranya seperti ini,
rawan terjadi perkelahian) komentar wildan. Hanya beberapa meter dari tempat
wildan berkata seperti itu, kami benar-benar menyaksikan perkelahian yang
terjadi antar peserta karnaval. Seseorang yang menggunakan kostum barongsai
tampak bergerak tak terkendali dan menabrak peserta lain di sekitarnya. Setelah
dilerai dan dibuka topengnya, wajahnya tampak merah dengan tatapan mata yang tidak
fokus. Sudah jelas ia sedang dalam keadaan mabuk. Kejadian tersebut kemudian
berulang beberapa kali sepanjang karnaval. Memang saya pun sempat menangkap
beberapa ekspresi aneh dalam kamera yang saya bawa saat itu. Beberapa ekspresi
wajah mereka kosong dan terlihat sangat kelelahan, namun gerakan joged mereka
masih sangat enerjik.
Perstiwa tersebut terjadi tanggal 17 Agustus lalu, saya dan
sobat masa kuliah saya Wildan memutuskan untuk mencari suasana baru dalam
merayakan hari kemerdekaan Indonesia tahun ini. Perjalanan hari itu, sungguh
sangatlah spontan. Wildan sendiri biasanya diwajibkan oleh sang Ibu Negara
untuk pulang menemui keluarganya di Tasikmalaya bila hari libur tiba. Namun
karena pagi harinya ia harus menghadiri upacara bendera di kantornya, dan
keesokan harinya masih harus masuk kerja, jadilah hari tersebut saya culik dia
untuk membujang bersama saya di stasiun kereta.
Kehadiran kami di stasiun kereta pada hari itu bertujuan
untuk mengambil beberapa foto yang akan diikutsertakan dalam lomba foto PT.
(KAI) Kereta Api Indonesia. Dan kebetulan pada kesempatan tersebut, PT. KAI
menggratiskan seluruh tiket perjalanan dalam kotanya yang kemudian membawa kami
berangkat ke Cicalengka pukul 10.13 pagi. Tak banyak destinasi yang bisa kami
pilih dengan Kereta Api Lokal Bandung, kalau tidak Padalarang ya Cicalengka.
Kami pilih Cicalengka sebagai tujuan, karena kami berdua tidak pernah
berkunjung langsung ke daerah tersebut.
Pukul 10.10, kereta api lokal yang menuju Cicalengka pun sudah
terlihat datang dari arah Padalarang. Kereta kemudian berangkat tepat pukul
10.13, sesuai dengan jadwal yang tertera pada lembar tiket. Bagi saya pribadi,
sungguh luar biasa pelayanan kereta api saat ini yang datang dan berangkat
tepat pada waktunya. Karena dulu, jadwal kereta api itu selalu longgar seperti
karet. Saat saya dulu sering pergi untuk interview ke Jakarta, waktu
keberangkatan kereta dapat molor sampai 20 menit. Ditambah, kadangkala kereta
berhenti di beberapa stasiun kecil hingga lebih dari 10 menit, yang berakibat
pada keterlambatan saya datang ke lokasi tes.
Dalam rute kereta menuju Cicalengka ini, kereta melewati
beberapa stasiun yang cukup familiar di Kota Bandung, seperti Cikudapateh,
Kiara Condong, dan Gedebage. Kami melihat di beberapa titik perlintasan kereta,
jarak rumah dengan lajur kereta sangatlah dekat. Hingga bisa dibayangkan saat
kereta melintas, orang yang tinggal dalam rumah tersebut dapat merasakan
getaran dan bisingnya suara kereta. Dan tentunya ada resiko bahaya yang ditimbulkan
bagi warga yang hidup berbatasan langsung dengan rel kereta.
Setelah melewati Stasiun Gedebage, pemandangan yang dapat
dilihat dari jendela mulai terasa menyenangkan. Deretan gunung dan sawah yang
menghampar menjadi obat tersendiri dari segala kepenatan. Inilah yang saya
sukai dari perjalanan berkereta, pemandangan yang terus menerus berganti lewat
kaca jendela selalu asyik untuk dinikmati. Maka dari itu, saya jarang sekali
tidur saat berada dalam kereta, kecuali tentunya pada perjalanan malam. Karena
nyaris tak ada hal menarik yang dapat dilihat.
Salah satu gunung yang dapat dilihat dalam perjalanan ini
adalah Gunung Geulis, hanya itu yang dapat saya kenali. Sementara itu di arah
berlawanan dari Gunung Geulis terdapat stadion Gelora Bandung Lautan Api yang
berdiri megah sendirian di tengah areal persawahan hijau. Dan entah mengapa,
masinis selalu memperlambat laju kereta saat tepat melewati stadion ini.
Rasa-rasanya seperti ia hendak mempersilakan para penumpang untuk mengabadikan
bangunan sarana olah raga yang sempat menjadi markas Persib Bandung ini.
Sesampainya di Stasiun Cicalengka, riuh suara wanita
menjajakan barang dagangan terdengar lewat pengeras suara.Sebuah mini market
yang beroperasi di area stasiun menawarkan paket dengan potongan harga
fantastis. Tak heran juga sih, karena hampir semua toko, baik toko fisik
ataupun online di seluruh Indonesia memberlakukan promo penjualan dengan
embel-embel “promo kemerdekaan” atau “promo agustusan.” Biasanya jumlah besaran
promo harga tersebut berkisar antara angka 17,8 atau 45, sesuai dengan tanggal
kemerdekaan Indonesia.
Kebul adalah kesan
saya saat pertama kali menginjakkan kaki di Cicalengka. Ngaheab adalah kesan saya yang kedua. Dua kata tersebut tidak dapat
saya gantikan ke dalam Bahasa Indonesia, karena feel-nya menjadi berbeda. Sepi dan lengang, sampai kami bertanya
kepada warga lokal mengenai acara agustusan di sini yang kemudian berujung pada
cerita pertemuan kami dengan para peserta karnaval yang mabuk tadi. Selain itu
kami melihat para pelajar dari SD sampai SMA pun menari hingga tak terkendali
dalam karnaval ini. Mereka tidak mabuk, hanya saja seragam sekolah mereka penuh
dengan coretan, dan rambut mereka diwarnai warna jingga dan violet menyala.
Sangat disayangkan bila sebuah perayaan agustusan berujung dengan hal-hal yang
sesungguhnya sangat tidak berhubungan dengan semangat yang disusung.
Mungkin ini pertama kalinya setelah waktu yang sangat lama
saya terjun kembali ke perayaan hari kemerdekaan yang digelar masyarakat.
Biasanya saya hanya ikut lomba-lomba yang digelar kantor tempat bekerja saja.
Satu hal yang kini saya ketahui dari perjalanan ini adalah sebuah trend
perayaan agustusan yang telah banyak berubah. Karnaval agustusan yang dulu saya
kenal adalah karnaval anak-anak dengan menggunakan seragam masa depan yang
menjadi cita-citanya, bukan kemudian berkostum ala pocong-pocongan ataupun
orang dewasa yang berdandan ala waria. Dari karnaval yang saya saksikan hari
itu, saya tidak melihat bangsa yang sedang memperingati hari besarnya, namun
hanya melihat sekelompok orang yang sedang lari dari masalah hidupnya dan
kemudian berpesta pora seenaknya untuk melepaskan beban dan masalah yang
mendera.
Hanya sekitar 1 jam saja kami mengikuti karnaval agustusan
di Cicalengka sampai kami memutuskan balik arah menuju stasiun karena tak tahan
dengan terik yang luar biasa pada siang itu. Bahkan di beberapa titik, ada
orang yang bertugas menyemprotkan air pada peserta karnaval seperti yang sering
dilakukan pada sebuah konser-konser rock dan metal.
Dalam perjalanan kali ini, setidaknya saya banyak belajar
hal baru dan menikmati perjalanan berkeretanya. Selain jadwalnya yang kini
tepat waktu, bagian dalam kereta api lokal ini sangatlah nyaman untuk ukuran
kelas ekonomi. Bahkan tingkat kenyamanannya melebihi kereta api Parahyangan
kelas bisnis yang saya naiki tahun 2010. Kursinya empuk dengan kondisi gerbong
yang bersih dan terang. Karena bila saya ingat perjalanan berkereta ke
Padalarang pada sekitar tahun 2000an, saya duduk langsung di lantai besi
gerbong tanpa alas dan langsung bersebelahan dengan penumpang yang membawa ayam
jago. Kalaupun ada tempat duduk tersedia, bentuknya hanya sebuah bangku panjang
seperti yang sering ada di warung bakso. Kapasitas penumpang pun diperhitungkan
agar tidak kelebihan muatan dan semua penumpang pun dapat merasa nyaman.
0 komentar:
Posting Komentar