Perkampungan kota di Bandung tentunya bukan hanya Manteos
saja, sebelumnya saya bersama dengan Komunitas Aleut pernah juga mengunjungi
Cikapundung Kolot yang hilang, Blok Tempe yang revolusional, serta Cibuntu yang
ternama. Namun tentu setiap kampung yang kami kunjungi memiliki keunikan yang
membawa cerita baru dalam setiap
episodenya. Keunikan Kampung Manteos ini terletak dari struktur perkampunganya
yang didirikan di Lembah Sungai Cikapundung, sehingga dari kejauhan kampung ini
akan terlihat seperti rumah yang bertumpuk. Tampilannya sering digambarkan
sebagai Rio De Janeiro-nya Kota Bandung, atau mungkin boleh saja kalau kita
sebut Rio De Janeiro Van Bandoeng.
Nama Manteos memang terdengar seperti diambil dari bahasa Spanyol,
saya berpikir bahwa nama tersebut memang merupakan sebuah wilayah yang berada
di Spanyol atau Amerika Latin, bahkan sempat juga berpikir bahwa nama tersebut
merupakan nama seorang pesepakbola yang bermain di La Liga. Walau ternyata
bukan nama seorang pesepakbola, salah seorang kawan dari Komunitas Aleut
mengatakan nama tersebut konon diambil dari seorang preman yang dulu tinggal di
sana bernama Don Manteos. Kemungkinan nama Manteos tersebut merupakan adaptasi
dari nama Mathius yang tergubah oleh lidah Sunda. Namun versi lain mengatakan
bahwa Manteos dulunya merupakan nama sebuah gedung yang berdiri tak jauh dari
kampung yang disebut Main House, lagi-lagi dikarenakan kearifan lidah lokal,
maka warga menyebutnya dengan sebutan Manteos.
Begitu memasuki area Kampung Manteos, warna-warna cerah
mulai menggoda sudut mata untuk memindai
tampilan wajah kampung yang ngejreng ini.
Mural berbentuk segitiga warna-warni pada setiap penjuru dinding rumah yang
kami temui di sekeliling Bale Warga memang sangat mencolok. Desain mural
berbentuk segi tiga dipilih dengan alasan agar ketika cat pada dinding mulai
memudar atau rusak, maka akan mudah diperbaiki oleh seluruh warga, bahkan oleh
anak-anak sekalipun. Inisiasi untuk menggambar mural di sekeliling kampung
datang dari tim Alumni Arsitektur Unpar tahun ’91. Proses penggambaran mural
ini masih berlangsung hingga seluruh penjuru kampung berhasil terwarnai di
akhir maret 2017 nanti.
Tak hanya dindingnya yang berwarna-warni, hidangan yang
disajikan untuk kami saat itu pun sangat berwarna dan cukup memberikan bekal
untuk mengarungi perjalanan keliling kampung. Kelepon, Getuk dan secangkir
Bajigur hangat, kombinasi tepat yang sedikit mengobati kerinduan saya akan
jajanan tradisional. Mungkin sudah bertahun-tahun lamanya lidah saya tak
merasakan getuk yang ditaburi kelapa serut seperti ini. Cemilan-cemilan ini
tentunya sudah sangat sulit ditemukan di penjuru Kota Bandung.
Tak jauh dari Bale Warga, terdapat konsep pembangunan
Kampung Manteos yang disajikan melalui infographic apik yang ditempel di salah
satu dinding rumah warga yang cukup membuat kami terpukau. Karena dalam
kunjungan kami ke berbagai kampung kota selama ini, baru di Kampung Manteos
saja sebuah planning concept diinformasikan
dengan cukup baik. Hal ini menandakan keseriusan berbagai pihak yang mendukung
kemajuan pengembangan kampung ini.
Mungkin benar kata seorang kawan yang menjuluki Kampung
Manteos ini sebagai kampung seribu tangga, karena sepertinya kami menuruni anak
tangga yang takkan ada habisnya. Padahal ini baru turun, bisa dibayangkan saat
kami kembali naik ke area Bale Warga nantinya. Di tengah jalan, kami juga
menemukan selang yang jumlahnya cukup banyak berada di samping setiap jalan
yang kita lewati. Saat kita telusuri, selang-selang tersebut mengarah pada
sebuah ruangan kecil di sebuah bangunan. Pak Yayat, seorang warga yang menemani
perjalanan kami mengatakan bahwa di dalam ruangan tersebut terdapat sebuah mata
air. Dari mata air inilah warga mendapatkan air untuk kebutuhan sehari-hari
mereka, karena warga Kampung Manteos memang tidak dipasok air ledeng.
Akhirnya kami pun tiba di Tembok Berlin yang melegenda. Dan
nampak semua warga di sini pun kompak menyebut tembok ini dengan sebutan Tembok
Berlin. Awalnya tembok ini dibangun untuk digunakan sebagai jalan mobil, namun
ternyata karena pembangunannya kurang tersampaikan dengan baik kepada warga
lainnya, akhirnya pembangunan tembok ini terbengkalai. Dari tembok ini pun kami
dapat melihat panorama Kota Bandung dari sudut yang tak pernah kami jumpai sebelumnya.
Kami dapat melihat rumah-rumah kecil yang bertumpuk dan mengelilingi beberapa
raksasa beton yang mulai mengisi langit kota ini.
Dari Tembok Berlin kami beranjak turun sampai menemukan
aliran air Sungai Cikapundung. Hal baru yang saya temukan di sini adalah warna
aliran air Cikapundung yang terbilang masih cukup bening. Walau sejak tahun
2005 warga sudah tak pernah menggunakan aliran air ini untuk mandi dan mencuci
baju karena mulai kotor, air Sungai Cikapundung yang mengalir di samping
Kampung Manteos cukup bersih bila dibandingkan dengan daerah aliran air Sungai
Cikapundung yang melintasi Jl. Asia Afrika dan sudah terlihat seperti air
Bajigur. “Nah Bajigur yang tadi kalian minum teh langsung kita ambil dari
sini, cuma kita panasin aja”, canda Kang
Edi yang kemudian disambut gelak tawa seluruh peserta ngaleut Manteos.
Walau sudah tidak dipergunakan untuk mandi dan mencuci
pakaian, warga masih sering berkegiatan di bantaran sungai. Saat itu saya
melihat anak-anak yang tadi berlarian di Tembok Berlin sedang berlomba melempar
batu di pinggir sungai. Beberapa meter di sampingnya, terdapat dua pemuda yang
terlihat asyik dengan kail pancingnya. Saya sempat bertanya pada salah satu
pemuda tersebut, “kang laukna seueur kitu?”. “Oh lumayan da ayaan keneh, seueur”,
jawabnya. Hal ini menandakan aliran air di dekatnya masih memiliki kualitas
yang cukup baik, hingga ikan masih dapat hidup di dalamnya.
Hal lain yang cukup menarik perhatian saya di aliran Sungai
Cikapundung yang melintasi Manteos adalah terdapat banyak sekali batuan datar
di pinggir sungai. “Ya dulu warga mencuci pakaian di batu-batu itu”, ujar Pak
Yayat yang dijuluki white lion oleh
kawan-kawannya karena rambutnya yang sudah memutih seluruhnya. Saya pun sempat
melihat kabel-kabel yang melintasi bagian atas sungai dengan jumlah cukup
banyak. Sebelum saya mulai bertanya, nampaknya Pak Yayat sudah menangkap raut
kebingungan di wajah saya. “Nah yang itu bukan kabel, itu selang air yang
berfungsi mengambil air dari sela-sela cadas. Selain dari mata air tadi, ada
beberapa warga yang mendapatkan air dari aliran air yang mengalir di antara
batuan cadas”, tambah Pak Yayat.
Selain itu, rupanya terdapat beragam kisah unik yang
menghiasi warga Kampung Manteos yang tinggal di bantaran Sungai Cikapundung
ini. Salah satunya adalah kisah tentang leuwi
beurit yang seringkali mengeluarkan suara mirip gamelan di malam hari.
Kisah lainnya datang dari satu jembatan yang menjadi jalan satu-satunya warga
untuk menyeberang sungai. Dahulu jembatan besi tersebut pernah hilang selama
beberapa hari setelah hujan yang cukup deras. Awalnya warga menyangka kalau
jembatan tersebut hanyut oleh banjir, namun setelah menelusuri sungai, jembatan
tersebut tidak ditemukan. Setelah berhari-hari, dengan ajaib jembatan tersebut
kembali muncul di tempat semula, hanya saja dengan bentuk yang melengkung dari
bentuk yang sebelumnya lurus.Jembatan misterius yang pernah hilang |
Setelah mendengarkan paparan Ipin soal kekayaan flora yang
dimiliki oleh Kampung Manteos, acara dilanjutkan dengan game. Dan baru kali ini saya mengikuti kegiatan ngaleut dengan agenda game di dalamnya. Game ini pun dipandu oleh warga Kampung Manteos dan cukup membuat
saya terkesan. Dari kepiawaiannya dalam memimpin game, saya rasa mereka sudah rutin memberikan game pada setiap rombongan yang berkunjung sebagai bagian tour de Manteos.
Tour De Manteos
hari ini ditutup oleh penampilan anak-anak dari Kampung Manteos yang sudah
berlatih semalaman. Nantinya mereka akan tampil kembali dalam sebuah acara yang
akan diselenggarakan tanggal 18 Maret 2017 nanti. Selain itu, saat ini beberapa
pemuda kampung sedang mengikuti pelatihan juga untuk menjadi barista. “Nantinya
bakal ada kedai kopi keren di Manteos, tunggu tanggal mainnya”, cerita Kang Edi
yang menjadi jubir sejak pagi tadi.
Penampilan seni dari anak-anak Kampung Manteos |
0 komentar:
Posting Komentar