Tanda Geopark Ciletuh di Pantai Palangpang |
Perjalanan pagi buta yang sunyi itu sesekali dipecah oleh obrolan saya dengan Walid, kawan saya yang memegang kemudi, serta suara dengkuran yang bersahutan dari kursi belakang. Kesunyian itu bertahan sampai mobil kami dihadang seorang lelaki yang nampak terengah-engah di jalanan yang kiri kanannya masih hutan belantara. Sempat terlintas dalam benak kalau ia adalah begal atau semacamnya, namun saya menepis pikiran tersebut saat melihat raut mukanya yang justru terlihat panik. “Kang ningal istri nu ngangge tiung bodas di jalan tadi teu?” (kang lihat perempuan yang pake kerudung putih di jalan tadi nggak?), ingatan saya langsung terlempar pada pemandangan janggal beberapa kilometer ke belakang, saya dan kawan-kawan memang sempat terkejut dengan keberadaan seorang wanita berkerudung putih yang berjalan kaki menuntun seorang anak di tengah jalan yang gelap. “ Nu papah sareng murangkalih?” (yang jalan sama anak kecil?), timpal saya bertanya balik. “Muhun kang, ningal dimana? Tos tebih?” (betul kang, lihat dimana? Sudah jauh?), ujar sang lelaki bertanya kembali. “Muhun, lumayan tos tebih pisan” (iya, lumayan sudah sangat jauh), jawab saya. “Waduh euy, nuhun a” (waduh euy, makasih ya a), si lelaki tadi nampak makin kebingungan dan mulai berlari ke arah kami datang. Entah apa yang terjadi dengan mereka, namun kejadian di pagi itu membuka perjalanan kami bertujuh di Geopark Ciletuh.
Awalnya perjalanan ini hanya akan diikuti oleh 3 orang, termasuk saya dan Walid, serta kawan saya Dedi yang batal bergabung karena tanpa diduga mendapatkan jodohnya di Jakarta, dan sedang berbulan madu. Kami bertiga adalah teman seperjuangan saat dulu sama-sama bekerja di sebuah Bank Syariah di Kota Bandung. Walau sudah tidak bekerja bersama, kami tetap sering meluangkan waktu untuk bertemu. Akhirnya sebagai ganti, Walid mengajak istrinya Erma, sedangkan saya mengajak sahabat saya sedari 16 tahun yang lalu, yaitu Dwi untuk bergabung bersama kami. Dwi pun mengajak kawan-kawan traveller mate-nya yaitu Andri, Putri dan Pram untuk ikut serta, tentunya agar biaya perjalanan per orangnya menjadi lebih murah.
Dua jam setengah kemudian kami akhirnya tiba di Panenjoan yang terletak di daerah Taman Jaya Ciletuh, tempat pertemuan yang dijanjikan dengan salah satu anggota PAPSI (Paguyuban Alam Pakidulan Sukabumi) yang nantinya akan menjadi guide kami selama 2 hari di Ciletuh. Sebut saja dia Angga, ya karena namanya memang Angga, putra daerah asli Ciletuh yang tampak usianya masih sangat muda belia, jauh di bawah usia kami bertujuh yang hampir menyentuh kepala 3.
Tak lama Angga mengajak kami untuk beristirahat sebentar dan menyimpan barang-barang di homestay yang terbilang bagus kondisinya. Terdapat 3 kamar tidur dan 1 ruang tengah dengan sebuah TV di dalamnya. Angga bercerita kalau homestay yang digunakan untuk menginap tamu biasanya akan menyatu dengan sang pemilik rumah, tujuannya agar tamu dapat banyak berbincang dan lebih dekat dengan warga lokal, namun kebetulan homestay yang kami dapatkan tidak berpenghuni, karena sang pemilik rumah sehari-harinya berkegiatan di wilayah Kota Sukabumi.
Panenjoan / Mega Aphiteatre Ciletuh |
Setelah semua personil berbenah dan membersihkan diri. Angga mengajak kami ke Panenjoan yang letaknya tepat di seberang Kantor PAPSI. Dalam bahasa Indonesia, Panenjoan memiliki arti tempat melihat. Karena dari Panenjoan ini kita dapat melihat dengan baik bentang alam yang luar biasa dari Geopark Ciletuh secara keseluruhan. Bentuk dari Panenjoan ini sering disebut juga dengan Mega Amphiteatre Ciletuh. Disebut Amphiteatre karena panorama alam yang disajikan bagai sebuah theatre alam raksasa. Tebing yang membentuk huruf ‘U’ ini bagai kursi dalam sebuah pertunjukan, sedangkan pemandangan yang terhampar di depannya menjadi panggung utama. Di Panenjoan ini cukup banyak spot untuk ber-selfie ria dan menikmati keindahan alam Ciletuh, jadi tak perlu mengantri untuk berfoto di salah satu spot, karena setiap sudut dari Panenjoan ini asik semua kok.
Dari Panenjoan, kami beranjak menuju ke arah Curug Cikanteh dan Curug Sodong, 2 dari 10 air terjun yang berada di kawasan Geopark Ciletuh yang kebetulan dapat dilihat dari satu titik. Namun jangan bayangkan perjalanan yang mudah menuju ke tempat ini, karena jarak yang ditempuh untuk mencapai satu atraksi wisata menuju ke lokasi lainnya sungguh jauh. Luas kawasan Geopark Ciletuh ini kira-kira sekitar 3 kali lipat luas wilayah Kota Bandung. Dari Panenjoan menuju lokasi Curug Sodong saja bagaikan mengemudi dari Gedebage ke Lembang kalau di Bandung, untungnya mayoritas jalan utama di Ciletuh sudah cukup baik untuk dilewati Kendaraan dan tentunya tidak macet seperti di Bandung.
Curug Cikanteh dan Curug Sodong |
Sekitar 5 Km dari tempat tujuan, Curug Cikanteh yang berada di puncak bukit mulai terlihat. Curug ini dinamakan demikian karena nama sungai yang mengalir di atasnya bernama Sungai Cikanteh. Sedangkan air terjun kembar yang berada tepat di bawah Curug Cikanteh bernama Curug Sodong atau sering juga disebut Curug Panganten. Aliran air terjun yang mengalir berdampingan layaknya sepasang pengantin menjadi asal mula curug ini dinamakan demikian. Curug aja berdampingan yah, masa kamu nggak? #eh.
Aliran air yang jatuh di Curug Sodong ini cukup deras, sehingga harus mengambil jarak lumayan jauh untuk mengambil gambar tanpa terkena resiko gadget atau kamera kecipratan air. Sementara itu tepat di samping Curug ini terdapat sebuah warung kecil yang nampaknya belum terlalu lengkap namun kita dapat membeli air mineral ataupun cemilan.
Angga banyak bercerita mengenai bagaimana kehidupan warga Ciletuh banyak mengalami perubahan semenjak ditetapkannya Ciletuh sebagai Geopark oleh UNESCO pada Desember 2015 silam. Sebelumnya kebanyakan warga Ciletuh bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan, namun kini beberapa warga sekitar mulai berkreasi dengan membuka warung di sekitar lokasi wisata. Beberapa ada yang membuka jasa ojeg, sementara beberapa lainnya ada yang mencoba membuat souvenir. Ia sendiri sebelumnya adalah seorang pengangguran, dan kini ia telah menjadi salah satu guide terpercaya untuk memperkenalkan Geopark Ciletuh kepada wisatawan yang berkunjung.
Dari Curug Sodong, kemudian kami beranjak menuju Pantai Palangpang. Sebuah pantai yang namanya baru saya dengar saat mengunjungi Ciletuh hari itu, masih kalah pamor dari nama Pantai Pelabuhan Ratu dan Pantai Ujung Genteng yang berasal dari daerah administrasi yang sama, padahal letaknya masih satu jalur perjalanan.
Sapi yang berkeliaran bebas di Pantai Palangpang, Geopark Ciletuh |
Pantai Palangpang ini cukup bersih dari sampah, mungkin karena belum banyak orang yang mengunjunginya. Hanya saja warna air laut di dekat tepian pantai ini bewarna jingga. Awalnya saya mengira airnya tercemar oleh limbah atau semacamnya, namun ternyata air yang berwarna jingga ini disebabkan oleh proses pengendapan tanah merah dan berbagai campuran batuan vulkanik laut yang ada di Ciletuh. Dan dari sinilah dapat diketahui asal mula nama ‘Ciletuh’ yang memiliki arti ‘air yang keruh’.
Pantai Palangpang |
Betul saja, saat mata saya mulai memindai lekuk Pantai Palangpang beserta panorama alamnya yang luar biasa, saya menangkap sebuah kapal yang berukuran cukup besar yang mulanya saya kira merupakan kapal penangkap ikan. Namun tentunya tak mungkin kapal nelayan sebesar itu menangkap ikan di siang bolong begini. Sampai akhirnya Angga menangkap raut kebingungan dari wajah saya dan menjelaskan bahwa kapal yang saya lihat itu adalah kapal pengangkut pasir. Ternyata laut Ciletuh tak hanya memiliki kekayaan berbagai jenis makhluk laut untuk dikonsumsi manusia, pasir dan batuan lain di dalamnya menjadi mata pencaharian alternatif bagi sebagian warganya.
Menjelang makan siang, kami diajak Angga untuk makan di salah satu warung nasi yang tak jauh dari Pantai Palangpang. Menunya sih standar warteg dan warung nasi seperti yang ada di Bandung, namun tentu menu istimewa saat berada di daerah sekitar laut adalah ikan. Rasa ikan peda yang ditambah dengan lalaban dan sambal ijo khas Sunda sungguh nikmat di lidah. Selain ikan, menu spesial lainnya yang menjadi menu favorite saya di Ciletuh adalah sop iga, rasa olahan kuahnya saja sudah sangat enak, apalagi dikombinasikan dengan daging iga dari sapi jawa yang memiliki badan yang besar-besar itu.
Beres menyelesaikan santap siang, kami langsung melanjutkan perjalanan menuju Curug Cimarinjung yang dinamakan dari air sungai yang mengalir di atasnya. Curug Cimarinjung ini memiliki aliran air yang jauh lebih deras dibandingkan Curug Sodong. Padahal kami sudah berdiri 50 meter dari titik air jatuh, namun tetap saja terkena cipratan air. Bahkan di sekitar titik jatuhnya air terdapat kabut yang diakibatkan oleh aliran air yang jatuh sangat keras.
Curug Cimarinjung |
Kami tak menghabiskan waktu lama di Curug Cimarinjung karena ingin mengejar pemandangan matahari terbenam dari Puncak Darma. Bisa dibilang Puncak Darma ini yang menjadi primadonanya Ciletuh. “Yah dikasih nama Puncak Darma, karena di area puncak ini milik Kang Darma”, cerita Angga untuk mengisi obrolan saat kami mulai berjalan naik ke Puncak Darma. Berbeda dengan atraksi wisata lainnya, Puncak Darma ini harus ditempuh dengan jalan kaki sekitar 1 jam dari tempat parkir kendaraan. Jalan yang ditempuh sangat berbatu dan menanjak, akan tetapi justru inilah daya tarik yang ditawarkan Puncak Darma, yaitu perjuangan untuk mencapai puncaknya. Namun ada sedikit catatan tentang Puncak Darma ini, ada baiknya untuk memperhitungkan kemungkinan turunnya hujan saat akan mendaki Puncak Darma. Jalan yang berbatu akan menjadi sangat licin dan berbahaya saat hujan mulai turun.
Setibanya kami di Puncak Darma, sebuah kedai yang menyuguhkan air kelapa muda langsung dari batoknya sengaja menggoda di depan mata. Tanpa banyak kompromi, 7 buah air kelapa muda kami pesan, tak peduli berapa harganya. Setidaknya biarlah cairan pada kerongkongan diganti terlebih dahulu, walau peluh yang membasahi sekujur tubuh sudah berteriak juga minta dibasuh. Setelah puas melepas dahaga dengan air kelapa, barulah kami bertanya soal harganya yang ternyata hanya Rp.7.000 saja per batok.
Minuman es kelapa muda di Puncak Darma Geopark Ciletuh |
“Puncak Darma the best pokoknya mah!”, pekik Andri yang selama
perjalanan paling banyak mengoceh. Memang tak salah ocehannya kali ini,
dari Puncak Darma kami dapat melihat Teluk Ciletuh secara keseluruhan.
Pemandangan ini sedikit berbeda dari yang ditampilkan dari Panenjoan
yang lebih banyak memperlihatkan hijaunya alam Ciletuh. Bahkan dari
Puncak Darma ini kami dapat menyaksikan proses terjadinya hujan yang
membasahi Geopark Ciletuh. Kami bisa melihat bagaimana area di sudut
kiri mata sedang terjadi hujan, sementara di sebelah kanannya baru
dirangsang awan-awan kelabu, tempat kami berdiri pun masih aman kering
kerontang.
Puncak Darma |
Namun sungguh sangat disayangkan, kondisi cuaca Ciletuh yang berubah cepat dari terang benderang menjadi mendung tebal dalam 1 jam terakhir, membuat kami tidak mendapat pemandangan matahari terbenam sesuai dengan yang diharapkan. Akan tetapi walaupun pemandangan Teluk Ciletuh dari Puncak Darma tertutup awan gelap, apa yang ditampilkan oleh Puncak Darma yang ikonik tetap luar biasa, bagaikan berdiri di ujung dunia.
Sunset di Puncak Darma |
Angka pada jam digital di smartphone sudah menunjukkan pukul 17.30, saya pun mulai mengajak teman-teman untuk turun dari Puncak Darma. Selain mentari yang sudah dipanggil meninggalkan hari, dari kejauhan sang hujan mulai tergoda untuk menghampiri. Kami sempat melihat beberapa pengunjung mendirikan tenda untuk bermalam. Saya jadi sedikit menyesal, kenapa tidak terpikir sebelumnya untuk berkemah di Puncak Darma, selain bisa mendapatkan view saat matahari terbenam, keesokannya bisa mendapatkan pemandangan matahari terbit tanpa takut terlambat.
Sesampainya kami di kaki bukit, hujan pun turun deras tanpa ampun, untungnya hanya tinggal beberapa langkah saja menuju tempat parkir kendaraan. Dan penyesalan saya soal berkemah di atas Puncak Darma pun terhapuskan, karena keesokan paginya hujan masih membasahi Ciletuh non-stop hingga pukul 7 pagi yang juga membuat kami mengurungkan rencana untuk melihat matahari terbit di Cadas Gemblung yang terletak di daerah Surade.
Cuaca yang cukup ekstrim di penghujung tahun 2016 ini membuat beberapa lokasi wisata tak dapat dikunjungi karena akses jalan menjadi terlalu riskan untuk dilewati. Cadas Gemblung, Curug Luhur, Curug Tengah dan Puncak Manik adalah lokasi yang terpaksa harus kami skip dalam perjalanan kali ini. Selain itu perahu yang kiranya dapat membawa kita ke Batu Batik dan Batu Pasir Punggung Naga pun tak diijinkan untuk beroperasi karena takut tercegat cuaca buruk di tengah lautan, padahal komplek bebatuan inilah yang menjadikan Ciletuh begitu istimewa untuk dikunjungi. Ciletuh ini dikenal sebagai salah satu tempat yang memiliki batuan paling tua di Pulau Jawa. Kira-kira batuan yang berada di sini terbentuk puluhan juta tahun yang lalu.
Akhirnya hari kedua kami di Ciletuh kami habiskan untuk mengunjungi Curug Awang dan Kampung Batik di wilayah Surade. Curug Awang ini tampilannya sedikit lebih buas dari yang saya lihat di instagram atau brosur wisata Ciletuh. Rupanya curah hujan yang sangat tinggi membuat volume air jauh melebihi batas normal, sehingga debit air yang mengalir melalui badan sungai menjadi sangat deras. Tak berlebihan rasanya kalau Curug Awang yang memiliki tinggi kira-kira 40 meter ini disebut dengan Niagara mini dari Jawa Barat.
Curug Awang Geopark Ciletuh |
Sebenarnya di kawasan sekitar Curug Awang ini kami juga dapat mengunjungi sekaligus Curug Puncak Manik dan Curug Tengah yang berada dalam satu aliran sungai. Namun kami harus membatalkan niat tersebut, karena baru saja terjadi hujan besar di pagi harinya yang membuat lokasi kedua curug lainnya tidak aman untuk dikunjungi. Dan pada saat mengunjungi Curug Awang pun kami mengambil jarak yang tak terlalu dekat untuk mengambil gambar.
Hujan mulai turun menggenangi jalanan Ciletuh, tak terlalu deras namun cukup membawa suasana hati menjadi syahdu, namun kami tetap memantapkan niat untuk mengunjungi destinasi terakhir kami di Ciletuh. Kami berencana langsung memacu kendaraan pulang menuju ke Bandung setelah mengunjungi Kampung Batik di Surade. Setelah mengemasi barang-barang di homestay , kami pun pamit pada kawan-kawan di PAPSI Ciletuh sebelum cuaca makin memburuk. Bantuan pemanduan dari PAPSI di perjalanan sangatlah berperan, Angga sebagai pemandu telah menjalankan tugasnya dengan baik dalam memberikan arah menuju lokasi-lokasi yang tersembunyi dan memperingatkan atas kondisi alam yang membahayakan akses jalan.
Guide dari PAPSI yang setia memandu kami |
Setelah memanaskan motor matic kesayangan dan mengenakan jas
hujan transparannya, tanpa ragu Angga mulai memacu kendaraannya menembus hujan
yang kian deras menuju destinasi pamungkas, yaitu Kampung Batik. Perjalanan
menuju Kampung Batik memakan waktu sekitar 1 jam setengah, dan sepertinya
menjadi perjalanan paling jauh dari seluruh tujuan wisata di Ciletuh.
Sesampainya kami di Kampung Batik, di luar dugaan suasana terasa sedikit sepi.
Rupanya hari itu, pegawai Kampung Batik sedang libur. Namun seorang pria yang
sepertinya merupakan koordinator di Kampung Batik ini tetap menyambut kami dan
menjelaskan tentang batik unik yang dibuat oleh Kampung Batik Surade. Ia
menjelaskan bahwa batik yang dibuat di Surade ini tidak menggunakan bahan kimia
sedikitpun, misalkan untuk membuat warna hijau pastel, ia membuatnya dari daun
pandan, dan untuk mendapatkan warna kuning ia mengolahnya dari kunyit. Total ada sekitar 30 pengrajin Batik di
Kampung Batik Surade yang produknya sudah dijual ke seluruh Nusantara. Tadinya
kami mau mencoba untuk membatik juga, namun sayangnya listrik di Kampung Batik sedang
padam kala itu.
Sepulang dari Geopark Ciletuh awalnya kami bermaksud untuk
mengunjungi Kuil Dewi Kwan Im yang terletak di Pantai Loji Jl. Pelabuhan Ratu.
Namun sayangnya lagi-lagi dikarenakan hujan yang masih terus membasahi tanah
Ciletuh, akhirnya membuat kami mengurungkan niat tersebut. Kuil unik yang
memiliki nama resmi ‘Nam Hai Kwan Se Im Pu Sa’ ini direkomendasikan oleh bos saya
di Kantor. Beberapa foto yang ia perlihatkan saat mengunjunginya tampak sangat
menarik. Sangat mirip seperti kuil-kuil Budha di Thailand. Dan ternyata memang
pemilik dan pendiri Bangunan tersebut adalah orang Thailand asli saat ia
mencoba mengorek informasi.
Kami simpan rencana kami mengunjungi Kuil Dewi Kwan Im
tersebut untuk perjalanan selanjutnya. Selagi waktu masih menunjukkan pukul 4
sore, kami langsung memacu kendaraan menuju Kota Sukabumi untuk membeli Mochi
Lampion, mochi paling terkenal seantero Sukabumi. Sedikit cemas memang, karena
khawatir tokonya sudah tutup saat kami
tiba nanti. Namun ternyata toko Mochi Lampion yang kami cari masih buka karena
moment long weekend. Lima kotak mochi
keju yang saya borong untuk oleh-oleh keluarga dan kawan di Bandung akhirnya
menjadi penutup penjelajahan tubuh Ciletuh di penghujung tahun 2016 ini.
Bagus tulisannya, mantab jiwa!!
BalasHapusHaha..thank you
HapusMantap tulisan nya renyah
BalasHapusHatur nuhun :D
Hapus