Saat saya bercerita mengenai pengalaman menonton pertunjukkan
adu domba di Cijaringao, tak sedikit kawan yang mengutuk tradisi asli Indonesia
tersebut. Kebanyakan alasannya dikarenakan kasihan dengan hewan tersebut, “Hewan
juga makhluk hidup, emang kamu mau diadu-adukan begitu?”, kata seorang kawan. Saya
hanya tersenyum saja dan sedikit mengingat pertunjukkan adu domba yang kemarin
saya saksikan seharian. Tak salah memang berpikir seperti itu, karena saya pun
pada awalnya berpikiran serupa. Memang ada banyak hal yang tak diketahui
orang-orang mengenai tradisi adu ketangkasan domba secara lebih jauh dan saya pun
yang termasuk baru mengetahuinya setelah melihat langsung.
Wasit berperan penting dalam adu ketangkasan domba |
Bayangan saya sebelumnya mengenai adu domba tak terlalu jauh
berbeda dengan apa yang disampaikan kawan saya. Memang kita sebagai manusia rasanya
terlalu jahat mengadu-adukan hewan hanya untuk kepentingan pribadi manusia itu
sendiri. Saya sempat berpikir ada uang yang berputar pada sebuah arena adu
domba. Namun nyatanya, setiap pertandingan adu domba yang kira-kira berlangsung
sekitar 10-15 menit tersebut tak pernah diketahui pemenangnya. Setelah menyelesaikan 20
tandukan yang terbagi menjadi 2 ronde, wasit meniup peluit panjang untuk
menghentikan pertandingan, dan domba-domba tersebut langsung dibawa oleh si pelatihnya
keluar arena. Saya sebut mereka pelatih karena selama pertandingan berjalan,
mereka tampaknya mengerti apa yang diinstruksikan oleh mereka, entah intruksi melalui
sebuah gerakan tangan atau dalam bentuk perkataan yang hanya mereka berdua yang
mengerti artinya. Bagaikan sebuah pertandingan tinju, saat sang domba terlihat
kelelahan , wasit akan memberi kesempatan untuk pelatih yang mendampingi domba
tersebut untuk memijat punggung atau bagian tubuh lain yang terlihat
bermasalah.
Sang pelatih yang siap sedia memijat dombanya yang lelah dan pegal ketika pertandingan |
Akhirnya saya pun mengerti mengapa tradisi adu domba saat
digelar lebih sering disebut dengan adu ketangkasan domba daripada pertandingan
atau pertarungan. Karena adu ketangkasan domba ini digelar memang bertujuan
untuk menyalurkan naluri berkelahi yang dimiliki oleh domba species tertentu,
dalam hal ini adalah jenis Domba Garut yang memang memiliki keunikan pada
tanduknya yang berbentuk spiral. Nah bila Domba Garut ini tak dipenuhi hasrat
bertarungnya, maka dia punya kebiasaan merusak sekeliling mereka, dengan
menanduk apa saja yang mereka lihat, termasuk kandang mereka sendiri ataupun
rumah si peternak. Untuk menyalurkan kebiasaan unik yang mereka miliki, maka
dari itu dibuatlah adu ketangkasan domba secara rutin oleh masyarakat. Saya
sendiri sempat melihat seekor domba yang berdiri di deretan tunggu domba yang akan
bertarung ada yang sudah sulit sekali menaklukkan nafsu bertarungnya, sehingga
di saat ia melihat domba lain berjalan menuju arena, bawaannya selalu ingin
menanduk saja padahal belum tiba gilirannya.
Domba yang menunggu giliran bertanding |
Saya juga sempat mendengar dari salah satu si empunya domba
tentang keberadaan pertandingan adu domba yang melibatkan uang, dulu memang
sering ada pertandingan adu domba yang mempertaruhkan nyawa salah satu domba
yang diadukan, hadiahnya pun bisa sampai sebuah sepeda motor, namun sekarang
sudah tidak ada lagi dan dibuat sebagai sarana olahraga sang hewan saja. Tak
heran memang melihat hadiah yang diselenggarakan, mengingat harga domba yang
ditandingkan saja bisa mencapai puluhan juta rupiah. Entah bagaimana cara
pelatih mereka melatih domba-domba tersebut, yang jelas beberapa domba terlihat
menonjol sekali otot-ototnya. Mungkin bila saya berkunjung ke peternakannya
saya dapat melihat mereka push up atau scot jump, haha.
Setiap Domba diberikan arahan oleh pelatih |
Sama halnya seperti olahraga beladiri yang dilakukan
manusia, adu domba pun membagi kelas-kelas domba tersebut berdasarkan berat
badannya menjadi kelas A, B dan C. Dan tentunya namanya pertarungan bela diri,
terkadang ada saja yang mungkin mendapat memar setelah pertarungan usai, beungeup kalau kata orang Sunda bila ada
seseorang yang mukanya babak belur karena bertanding tinju, namun masih dalam
batas kewajaran.
Di Bandung, pertunjukkan adu ketangkasan domba sendiri sudah
sangat jarang. Sebelumnya aktivitas ini rutin digelar di Babakan Siliwangi
setiap minggu pertama di akhir bulan, namun dari terakhir saya dengar dari
warga sekitar, pertunjukkan adu domba ini sudah tidak pernah diadakan lagi
dikarenakan keterbatasan dana dari pihak penyelenggara. Selain itu saya juga
pernah menemukan sebuah arena adu domba di daerah Cilimus Bandung, yang entah
masih digunakan atau tidak. Dan baru di hari minggu kemarin (27/11) bertepatan
dengan puncak acara #angklungpride6 yang diselenggarakan oleh Saung Angklung
Udjo, saya kemudian mengetahui bahwa di
Jalan Padasuka Bandung terdapat sebuah daerah yang disebut dengan Cijaringao
yang memiliki arena adu ketangkasan domba yang masih aktif di dalamnya. Cijaringao ini merupakan salah satu kebun bambu yang digunakan oleh Saung Angklung dalam mendapatkan bahan untuk memproduksi angklung setiap harinya. Minat melihat langsung domba-domba Garut ini beraksi? Tinggal datang saja di minggu terakhir setiap bulannya.
Gerbang masuk Kebon Awi Cijaringao |
0 komentar:
Posting Komentar