“Oh..teu tiasa langkung pak? Da asa seueur ieu teh?
“Atos pas, tingal nyalira timbanganna”
“Oh enya atuh, hatur nuhun pak”
Sebuah ingatan akan percakapan pada musim panas tahun 2011
silam di depan rumah, antara saya dan tukang loak. Sore itu saya menjual
seluruh draft revisi skripsi dan diktat kuliah saya dengan hitungan seribu
rupiah per kilogram. Tak semua saya jual, saya sisakan sekitar 300 gram handout yang isinya saya rasa cukup
penting dan tak dapat saya temukan di buku. Sebenarnya sedikit berharap
tumpukan kertas tersebut bisa laku setidaknya 40 ribu rupiah, karena setidaknya
saat saya berbaring di kamar dan melirik ke arahnya, tumpukan tersebut sudah
dapat dibangun seukuran kasur yang saya gunakan bila disusun.
Terpaksa saya gadaikan kumpulan ilmu dan kenangan tersebut,
karena selain cukup memakan tempat di kamar, uang hasil penjualannya saya
butuhkan untuk membeli tiket masuk job fair di kawasan Braga minggu depan.
Entah job fair keberapa yang saya ikuti setelah lulus kuliah,
walau sebenarnya saya sempat bekerja 5 bulan di sebuah distributor produk kopi
sachet ternama tanah air sebagai staff akunting. Klise mungkin, tapi alasan
saya memutuskan undur diri, karena merasa banyak yang salah dalam system yang
dijalankan perusahaan sehingga merugikan karyawan (tipikal alasan resign seorang fresh graduate). Dan begitulah akhir pekerjaan pertama saya setelah
sebelumnya 6 bulan menganggur sejak tanggal kelulusan sidang.
Memang saya sedikit terburu-buru mencari pekerjaan dibanding
kawan-kawan yang lain, karena bersamaan dengan kelulusan saya pada ujian sidang
skripsi Februari 2010, Ayah saya pun lulus dari tempat kerja yang selama ini
berperan memberi nafkah keluarga alias pensiun. Sementara adik saya yang
terpaut 8 tahun usianya masih bersekolah di SMP. Terburu-buru, hingga beberapa kali hampir
terjebak rekrutmen perusahaan yang melakukan penipuan penjualan terhadap
masyarakat.
April 2011, memasuki bulan keempat menganggur setelah
mundur, kejenuhan mulai merasuk, rekening tabungan sudah bau busuk. Sedikit
merasa bodoh mengorbankan keluarga demi idealisme ceroboh. Terhitung empat kali
sudah perjalanan antar kota ditempuh demi status mentereng karyawan perusahaan
beken. Pesangon Ayah sudah ludes, sementara saya masih apes.
Hasil penjualan diktat kuliah sudah habis untuk selembar
tiket bursa kerja, bisnis pulsa lebih banyak nagih hutangnya daripada hitung
labanya, mulai putar otak dan cerita sana-sini dengan kengkawan untuk mendapat
penghasilan tambahan yang akhirnya membawa saya kepada pekerjaan membuat
cutting sticker. Tanpa diduga pekerjaan membuat cutting sticker itu tak semudah
yang dibayangkan, cukup membebani mata, leher dan punggung. Setelah dikerjakan
dan dibentuk polanya oleh komputer dan mesin, ternyata sticker jenis ini mesti
dikelupas bagian tak terpakainya secara manual. Makin kecil ukuran stickernya
makin sulit pengerjaannya. Satu lembar kertas sticker berukuran sebuah pintu
hanya mampu saya kerjakan satu hari saja, itupun perlu diakhiri dengan sebuah
pijatan pada malam hari. Tujuh hari berlalu, tujuh lembar raksasa cutting
sticker berhasil saya selesaikan dan mendapat upah 5.000 rupiah per lembarnya.
Tiga puluh lima ribu rupiah, cukup untuk membeli pulsa
10.000 rupiah, mencetak pas foto 8 buah dan kelengkapan surat lamaran kerja beberapa
lembar. Tersisa 10.000 rupiah, kemudian
ingat besok lusa ada panggilan interview pekerjaan, rambut perlu dirapikan,
shampoo andalan di rumah sudah tak tersisa, pilihannya hanya dua, membeli
sebotol shampoo tapi rambut dibiarkan gondrong saat interview lusa atau
menggunakan sisa uangnya untuk mencukur rambut dengan gaya hampir botak
sehingga shampoo sudah tak lagi dibutuhkan. Dan akhirnya saya memilih
alternatif yang kedua.
Rezeki itu hadir di bulan Juni, saya akhirnya bekerja
kembali di sebuah perusahaan multifinance
dengan jumlah take home pay turun 35%
dari perusahaan sebelumnya. Bersyukur, setidaknya menjelang hari lebaran di
bulan Agustus saya memiliki penghasilan walau tanpa Tunjangan Hari Raya.
Menyesal, karena saya pernah menghadiahi keluarga saya menu lauk buka puasa
hanya dengan sebuah kerupuk ojay dibagi masing-masing per kepala. Selama Ayah saya
bekerja, tak pernah ia memberi makan keluarga hanya dengan makanan tak bergizi
tersebut. Sakit tentunya, sakit hati saya atas ketidakmampuan ini.
Gaji yang kurang layak untuk lulusan S1 masih coba saya
terima, berharap loyalitas dan pengembangan etos kerja dapat berdampak pada
karir dan kenaikan salary. Sambil
bekerja saya mulai berbisnis untuk mencari tambahan penghasilan, apapun yang
bisa saya jual saya coba putar di pasaran, dari mulai bisnis keripik yang
sedang musim, sandal pria, kaos anak sampai kemeja bermotif batik klub sepak
bola.
Satu setengah tahun sudah saya bekerja di perusahaan
tersebut, surat pengangkatan pegawai tetap pun sudah disodorkan HRD. Senang
yang disusul kecewa dalam sepersekian detik melihat kenaikan gaji saya hanya
sebesar 5.000 rupiah dari gaji awal.
Otak mulai berputar kembali, berpikir mengenai masa depan karir
di perusahaan ini, apalagi tahun ini adik sudah mulai mengenakan seragam
putih-abu yang tentunya membutuhkan tambahan biaya. Sampai akhirnya saya
bertemu dengan seorang teman kuliah di sebuah pusat perbelanjaan di daerah
Pajajaran Bandung yang bekerja memasarkan produk perbankan saat itu. Mendengar
bagaimana penghasilannya dari pekerjaan tersebut, saya pun mulai membuang
idealisme pribadi yang beranggapan lulusan S1 harus bekerja mengatur system dan
prosedur. Saya memutuskan untuk turun ke jalan, siap bermandikan terik dan
bertemankan hujan.
Akhirnya saya menyandang gelar sebagai pegawai bank, suatu
kebanggaan tersendiri untuk Ibu saya, saat sewaktu-waktu ditanya tetangga yang
membeli jajanan di warung makanan Ibu, dengan lantang dan wajah sumringah Ibu
menjawab, “Nu paling ageung ayeuna mah tos damel di Bank”, begitupun saat
halalbihalal keluarga besar di hari raya, walaupun sebenarnya status saya di
perusahaan masih karyawan outsourcing. Memang tingkat penghasilan meningkat
tajam, gaji pokok yang saya terima dari perusahaan sebelumnya naik 2 kali lipat,
apalagi bila di bulan tersebut saya melebihi target yang ditetapkan, ada
tambahan insentif menanti, namun berbanding lurus juga dengan pengeluaran yang
bertambah besar karena biaya bahan bakar, perawatan kendaraan dan tariff parkir
yang menjadi sangat boros.
Bekerja sebagai staff marketing dengan jam kerja flexible sangat
menyenangkan buat saya, di siang hari saya dapat pulang ke rumah untuk makan
siang masakan Ibu demi menghemat pengeluaran. Namun resikonya harus siap juga
menerima panggilan siang malam bahkan akhir pekan, deringan telepon adalah nada
kebahagiaan yang mempunyai probabilitas dalam memberikan rezeki dan menambah
pencapaian prestasi kerja saya.
Beberapa bulan berlalu, rute pergerakan saya di Bandung menjadi
semakin luas, yang saya rasa pasti sudah melebihi rute tukang ojek dalam
sehari. Tak hanya mobilitas, keterampilan saya berbicara pun mengalami
peningkatan, karena pekerjaan ini memaksa saya berbicara dengan banyak orang
baru dalam waktu singkat. Dalam sehari saya dapat berkenalan dengan 5-20 orang
baru, bahkan dapat langsung menggali kehidupannya. Yak, saya yang dikenal
sangat introvert kini kuat berbicara seharian dengan topik yang beragam.
Kerja flexible di perusahaan dengan nama besar, tak berarti bisa tumpang kaki minum kopi.
Setiap sebulan sekali menjelang akhir bulan, selalu diadakan penggalauan massal
dengan audiens para pekerja lapangan, dan di awal bulan setiap personil akan
disidang satu persatu untuk menentukan masa depannya di perusahaan. Persidangan macam ini
dapat dimulai dengan berbagai kalimat horror yang langsung berdampak pada detak
jantung tak menentu, urat syaraf menegang dan lidah yang kelu. “Masih betah kerja di sini?”, adalah salah
satu contoh kalimat horror pembuka yang langsung membawa saya pada keadaan di
atas. Kadang sang algojo sengaja memberi jeda dengan sebuah kesunyian yang
membunuh, hanya satu tatapan sinis dan
suara ballpoint yang ia mainkan cukup membuat gaduh isi kepala. “Kalau pencapaiannya tidak bisa diperbaiki, meningan keluar aja,
ini perusahaan, bukan yayasan”, belum mampu saya membalas kalimat tersebut si
penyidang kemudian menimpal lagi dengan kalimat, “ bulan ini kesempatan
terakhir kamu deh, kalau nggak target, kamu udah tau lah mesti ngapain”.
Ya, begitulah pekerjaan sales marketing, serasa berjalan di
seutas tali yang memisahkan antara hidup dan mati. Tekanan macam inilah yang
menyebabkan mood bisa naik turun dalam hitungan hari bahkan jam. Di satu sisi saya
masih ingin berjuang sampai batas kemampuan dan rejeki, namun di sisi lain saya
harus realistis menghadapi target yang imajinatif dan memikirkan pemenuhan kebutuhan
keluarga kalau-kalau ujungnya saya harus memecat diri. Hal inilah yang membuat
pengembaraan karir saya begitu panjang, dari satu bank ke bank yang lain, dari
produk pinjaman hingga produk tabungan. Dalam jangka waktu 3 tahun saja saya
sudah berkelana di empat bank yang berbeda, dari mulai bank asing, syariah
sampai BUMN dan konvensional pernah saya alami, namun tak satupun diantaranya
berbuah status pegawai tetap.
Sampai suatu hari, seorang lelaki dengan perawakan cukup
kurus namun rapi datang mengunjungi meja saya saat bekerja sebagai staff
marketing funding sebuah Bank BUMN. Bahasanya yang sopan diplomatis menandakan
ia seseorang yang terbiasa dengan hierarki pekerjaan. Awalnya ia bertanya soal
kredit perumahan, namun ternyata hanya basa basi belaka. Ia kemudian mengangkat
sebuah kotak plastik ke atas meja, dan membukanya perlahan. Sedikit tercium aroma
gula saat udaranya terlepas. Ah ya rupanya ia menawarkan aneka jajanan pasar.
Dengan kemampuan diplomasinya semacam itu? Sungguh mengherankan! Ia
menghabiskan sekitar 5 menit waktunya untuk bercerita soal rumah yang akan ia
jual, untuk meminta ijin berjualan kue di kantor pada akhirnya. Dan terkuak
juga kenyataan bahwa ia mantan kepala bagian akunting yang baru saja
diberhentikan oleh sebuah pabrik garmen karena guncangan resesi ekonomi tahun 2015. Sebuah lompatan besar
yang harus ia lakukan saat ia terbiasa bekerja di belakang komputer dan kini
harus menjajakan kue basah keliling.
Setelah membeli dua buah kue darinya, tanpa bermaksud menggurui, saya beri sedikit saran penjualan yg lebih efektif, agar ia tak perlu mengelilingi seluruh komplek ruko setiap harinya, lebih baik berjualan di keramaian atau menitipkan saja jajanannya ke kantin-kantin pegawai. Segera setelah ia pergi, saya pun mulai banyak-banyak berpikir. Selama ini saya berjuang mengincar karir dan status karyawan tetap, tapi pada ujungnya segala perjuangan kita dapat diputus begitu saja oleh tangan orang lain yang kita hormati dengan sebutan pak. Beberapa minggu kemudian saya memutuskan untuk resign dari dunia perbankan dan menghindari perusahaan besar dengan aturan ketat untuk dimasuki, karena tujuan akhir saya hanya satu, yaitu membangun perusahaan sendiri.
Setelah membeli dua buah kue darinya, tanpa bermaksud menggurui, saya beri sedikit saran penjualan yg lebih efektif, agar ia tak perlu mengelilingi seluruh komplek ruko setiap harinya, lebih baik berjualan di keramaian atau menitipkan saja jajanannya ke kantin-kantin pegawai. Segera setelah ia pergi, saya pun mulai banyak-banyak berpikir. Selama ini saya berjuang mengincar karir dan status karyawan tetap, tapi pada ujungnya segala perjuangan kita dapat diputus begitu saja oleh tangan orang lain yang kita hormati dengan sebutan pak. Beberapa minggu kemudian saya memutuskan untuk resign dari dunia perbankan dan menghindari perusahaan besar dengan aturan ketat untuk dimasuki, karena tujuan akhir saya hanya satu, yaitu membangun perusahaan sendiri.
Tahun keenam pasca kelulusan sidang sarjana, Curriculum
Vitae saya sudah ramai dengan berbagai nama, tak sedikit pun merasa bangga
dibuatnya karena sudah tau apa yang ada di dalamnya. Tak satupun titel pegawai
tetap saya dapatkan untuk kabar bahagia kepada orang tua. Jenuh sudah pasti,
jadi bujang lapuk apa lagi, berbagai bisnis yang dibangun tak kunjung berbuah
hasil, partner yang kemudian berhenti selalu menjadi ironi.
Dalam rentetan kisah saya berganti-ganti pekerjaan, beberapa
kali masa-masa pengangguran saya selama 3-4 minggu tertolong oleh fotografi dan sedikit
keterampilan pop art yang baru dipelajari secara otodidak, padahal kamerapun tak punya. Termasuk dalam pekerjaan
saya saat ini, tak pernah saya sangka, hobi saya di bidang fotografi dan keisengan
menulis di blog menjadi alasan saya diterima di perusahaan ini. Mungkin
pertanda Tuhan, bahwasanya rejeki terbuka bagi orang yang terus membuka diri. Namun
saat ini saya masih menghitung diri sebagai seorang pengangguran selama
perusahaan yang saya rancang belum berlari.
0 komentar:
Posting Komentar