Hampir setiap harinya selama sekitar 58 bulan saya merupakan
pelanggan setia jenis transportasi kota ini sehingga saya dapat mengenali bapak
supir DAMRI yang satu ini. Bukan sebuah kebetulan saya rajin berkendara dengan
DAMRI, tapi kendaraan ini adalah satu pilihan ekonomis dibandingkan angkutan
kota untuk mencapai tempat saya berkuliah di daerah Setiabudi Bandung. Asap
hitamnya yang pekat menjadi ciri khas yang membuat motoris enggan berada di
belakangnya. Dulu, tak banyak armada DAMRI yang menggunakan AC, sehingga saya
lebih banyak mendapatkan DAMRI kelas ekonomi yang tariff jauh/dekatnya hanya
Rp.1.200,-.
Biasanya saya selalu memberhentikan DAMRI di perempatan
Astana Anyar-Pagarsih. Memang butuh lebih banyak effort untuk naik DAMRI ke
kampus, selain saya harus berjalan kaki sekitar setengah kilo dari rumah, saya
harus menyisihkan spare waktu lebih
untuk menunggu DAMRI melintas agar tidak terlambat mengejar kelas perkuliahan.
Karena saya selalu naik DAMRI di tengah rute, otomatis armada yang saya naiki
selalu sudah dalam kondisi penuh, bahkan tak jarang saya harus nangkel terlebih dahulu di pintu masuk
sampai beberapa KM. Setelah saya dapat masuk ke bagian dalam bis, perjuangan
tetap belum berakhir dengan sesaknya penumpang di bagian dalam, namun disinilah
ceritanya dimulai.
Tentunya setelah titik saya naik, hanya sedikit saja
penumpang yang bakal naik di rute menuju Terminal Ledeng. Kalaupun ada yang
mengarah ke daerah Bandung Utara, biasanya lebih memilih angkot untuk
berkendara dengan alasan sudah dekat dengan tujuan, serta karena tariff
jauh-dekat DAMRI sudah tidak terlalu berpengaruh. Kalangan-kalangan yang
sepatutnya didahulukan untuk duduk pun sudah mendapatkan posisi yang layak
semua, artinya tinggal perjuangan saya dan para pemuda yang menggantungkan
lengan di palang besi untuk bersabar berdiri di tengah kemacetan sampai tempat
tujuan atau mencari strategi untuk mendapatkan tempat duduk saat setiap ada penumpang
turun. Dan Saya, lebih menyukai alternatif yang kedua.
Saya lebih menyenangi masuk dari pintu depan, karena begitu
masuk saya dapat melihat hampir keseluruhan kondisi bis dan wajah penumpang
yang berada di dalamnya. Seminggu pertama rutinitas saya naik DAMRI, tak banyak
yang saya pikirkan, hanya mulai merasa DAMRI ekonomi ini bagaikan sebuah
akuarium berjalan dengan ikan kelebihan muatan di dalamnya, dan kadang saya
berpikir suatu hari bakal ada orang yang mati di dalamnya karena kehabisan
napas atau terkena serangan jantung. Kaca-kaca jendela yang 100% transparan,
membuat cahaya matahari dengan mudahnya masuk ke dalam tanpa tersaring, membuat
kami ikan-ikan yang berada di dalamnya hanya tinggal menunggu matang menjadi
hidangan. Duduk saja masih lumayan menderita kepanasan, apalagi saat harus
berdiri sepanjang perjalanan menuju Terminal Ledeng. Sejujurnya dan sewajarnya
sebagai manusia adakalanya saya merasa sakit hati saat melihat orang yang lebih
belakangan naik DAMRI yang juga saya tumpangi mendapat tempat duduk terlebih
dahulu karena berdiri tepat di samping orang yang akan turun. Disitulah saya
mulai berpikir bahwa hukum ‘posisi menentukan prestasi’ juga berlaku di bis
DAMRi. Ini soal bagaimana caranya saya dapat berdiri di samping orang yang
punya kemungkinan besar akan turun dari DAMRI tersebut dalam waktu dekat.
Minggu berikutnya hari-hari saya bersama DAMRI
Leuwipanjang-Ledeng sudah tidak pernah sama dengan sebelumnya, naik DAMRI sudah
sama halnya dengan memainkan catur, bagaimana gerakan orang di sekitar bisa
menentukan gerakan saya selanjutnya. Paling mudah menebak anak sekolah yang
berada di dalam DAMRI, seragam putih-abu atau putih-biru yang khas, sudah dapat
saya jadikan sasaran utama (ingat, bukan sasaran copet), sedangkan seragam
putih-merah sangat jarang terlihat berada di dalam DAMRI. Sekolah Menengah Atas
yang berada di jalur menuju daerah Setiabudi hanya SMAN 4, SMAN 6, SMAN BPK
Penabur dan SMA Labschool UPI, nama terakhir tentunya sudah bukan menjadi
pilihan, karena tujuan akhir mereka sama persis dengan destinasi saya akan
turun. Siswa SMAN 4 dan SMAN 6 yang tak jauh lokasinya dari astana anyar
menjadi tujuan utama saya untuk mendapatkan tempat duduk setelah mereka turun. Wajah-wajah
lelaki ataupun perempuan sebaya bertampang kucel, memakai t-shirt seadanya atau
kadang berkemeja culun sambil menenteng tas selempang kecil pun sebaiknya
dilupakan dari incaran, karena mereka hampir dapat dipastikan merupakan seorang
mahasiswa di salah satu kampus di daerah Jalan Setiabudi. Tipikal penampilan
tersebut nyata adanya kecuali tampilan mahasiswa jurusan pariwisata tentunya,
tipe ini akan terlihat dandy dan
perlente dengan seragam blazer serta lebih sedikit grooming. Kebetulan area kampus di rute ini terpusat di daerah
destinasi akhir di Jalan Setiabudi, sehingga lebih mudah diidentifikasi tujuan
perjalanannya.
Destinasi lain yang menjadi titik dominan destinasi orang turun dari DAMRI Leuwipanjang-Ledeng
adalah RSHS atau Rumah Sakit Hasan Sadikin, atau orang juga mengenalnya sebagai
Rumah Sakit Rancabadak. RSHS merupakan rumah sakit BUMN satu-satunya di Kota
Bandung,status kepemilikan rumah sakit ini membuat biaya pelayanannya sedikit
lebih murah karena banyak mendapat bantuan dari pemerintah. Oleh karena itu banyak
pula pasien dari kota-kota tetangganya Bandung yang dirujuk ke rumah sakit ini.
Pasien rujukan yang menuju RSHS ini pun mudah dikenali, karena mereka bukan
pengguna rutin DAMRI jurusan ini, pakaian dan barang bawaan mereka pun sedikit
tak biasa. Beberapa cukup jelas terlihat dengan menenteng sebuah amplop atau
map yang bertuliskan nama RSHS itu sendiri atau nama seorang dokter yang
tertuju. Kebanyakan diantara mereka menggunakan pakaian yang sebetulnya
sederhana, namun cukup rapi untuk dipakai beraktivitas rutin menggunakan bis
Damri, contohnya seorang bapak yang menggunakan kemeja batik dan kopeah di
kepala atau seorang Ibu dengan kebaya model jadul dan menggendong anaknya
menggunakan karembong. Kadang
terlihat jelas pula bahwa salah satu diantara mereka sedang tidak sehat dan
perlu diantar, maka dari itu tipe penumpang ini tidak pernah bepergian sendiri,
minimal berdua.
Tipe penumpang lainnya yang bisa ditemui di Damri Leuwipanjang-Ledeng adalah SPG (Sales Promotion Girl), tipe yang satu ini tentunya berias sedikit menor, dengan lipstick merah menyala dan bulu mata lentik terpasang. Rias muka yang cukup menarik perhatian ini tentunya berlawanan dengan pakaian yang digunakannya, tipe ini selalu menggunakan sandal teplek dan sebuah jaket hoodie atau parasite. Sangat berlawanan dengan pakaian kerjanya? Ya tentu saja itu yang dikenakan mereka saat menggunakan DAMRI, apa kita berharap mereka naik damri dengan kemeja rapi serta high heels-nya? Tipe SPG ini punya beberapa kemungkinan destinasi yang dituju, yang pertama Mall Istana Plaza, serta Borma dan Griya Setiabudi.
Selain tipe penumpang yang sudah disebutkan, tentu saja ada
juga yang dapat naik turun bis DAMRI secara gratis. Pengamen dan penjual barang
dagangan sudah pasti, bila kedua tipe ini sudah mulai masuk ke dalam bis,
beberapa penumpang yang sudah duduk akan berpura-pura tertidur agar tidak perlu
melayani sang penumpang gratisan. Kadang pengamen yang memang sudah
berpengalaman dan mengetahui para penumpang yang berpura-pura tidur, akan
menyisipkan lirik sindiran dalam sebuah lagu yang dibawakannya. Adakalanya
orang cari uang di DAMRI itu tidak melalui berdagang ataupun menjual suaranya,
karena ada juga seorang ustadz keliling memberikan dakwah dengan meminta
sedekah seikhlasnya saat tausyiah singkat berdurasi 15 menitnya selesai.
Bicara soal transportasi umum dimana orang dapat keluar
masuk dengan mudah, tentu saja tipe penumpang yang punya maksud jahat pun tak
dapat dihindarkan untuk berbaur di dalam DAMRI. Ada yang mengincar barang-barang
berharga saat orang lengah. Ada juga yang melempar kentut tutup hidung di saat
sempit. Bisa dibayangkan sebuah ruangan persegi panjang berukuran sekitar 12,5
x 2 m, berisikan 100 orang penuh sesak, diterpa panas matahari kemudian diisi
gas beracun beraroma telur busuk? Sungguh saya pernah berpikir akan ada orang
yang hilang nyawanya disana.
Enam tahun berselang dari kali terakhir saya naik DAMRI
jurusan tersebut, di Bandung sudah jarang sekali saya melihat bis jurusan
ekonomi, terutama yang mengarah ke Terminal Ledeng. Entah saya
memang tidak melihat atau armada-armada lama tersebut sudah diganti dengan yang
baru, dengan tempat duduk menyamping layaknya di KRL, yang tentunya dibutuhkan
strategi berbeda saat naik DAMRI jenis baru tersebut. Ah yang jelas apa yang
saya lakukan selama 4 tahun lebih bertransportasi menggunakan DAMRI jurusan
Leuwipanjang-Ledeng ini hanya sebuah pengisi waktu luang saya saat berdiri di
perjalanan menghadap berbagai macam wajah yang tentunya memiliki cerita dan
latar belakang yang berbeda. Ada sedikit kepuasan layaknya mengikuti acara
kuis, saat dapat menebak dengan benar dimana seseorang akan turun di perjalanan. Suatu saat
sepertinya akan sangat menyenangkan untuk mencoba kembali naik DAMRI yang
konsepnya sudah baru, dan melihat apa yang bisa saya lakukan kembali saat saya naik DAMRI di
jaman yang baru.
0 komentar:
Posting Komentar