Stasiun Purwakarta menjadi langkah pertama saya di daerah yang
menjadi sub-urban Kota Bandung ini, ukurannya tak terlalu besar, namun ada yang
berbeda. Di balik kereta-kereta yang sedang menunggu giliran untuk berangkat,
terdapat deretan gerbong-gerbong kereta tua yang sudah menjadi bangkai,
bertumpuk rapi bagaikan mainan anak yang dapat dibongkar pasang.
“Tua..Namun Begitu Indah di Mata..Gerbong kereta yang beragam warna..Menjadikannya Istimewa..”
Lalu saya ingat persis, tempat inilah yang ternama di dunia
maya. Tempat trendi dimana orang berfoto diri karena latar belakang foto yang
menjadi tak biasa.
Tak lama saya diperkenalkan kepada si kembar yang berdiri
tepat di samping stasiun, tak seperti kembar yang saya bayangkan layaknya
kembar yang berada di negeri Paman Sam memang. Si kembar yang dimaksud adalah
Gedung Kembar yang sudah berusia satu abad lebih dan merupakan salah satu
bangunan heritage di Purwakarta.
Nakula Sadewa mereka di beri nama kini, sama seperti nama si kembar dari
ceritera Mahabarata, sehingga menambah kental nuansa pewayangan di Purwakarta.
Gedung Kembar Nakula Sadewa kini dipergunakan sebagai museum yang diberi nama
Bale Panyawangan Diorama Purwakarta.
Bale Panyawangan Diorama Purwakarta, satu tempat yang cukup
ajaib buat saya yang sebenarnya cukup mengikuti perkembangan teknologi terkini.
Sebuah buku yang menayangkan gambar bergerak di setiap lembarnya seperti Film
Harry Potter dan sebuah video virtual yang berjalan dengan kayuhan sepeda
sukses membuat saya merasa ndeso. Pada
umumnya Bale Panyawangan, seperti titelnya yang menyandang nama Diorama
Purwakarta, menceritakan tentang daerah Purwakarta dari mulai sejarah,
perkembangan kota hingga bagaimana Purwakarta mengangkat berbagai budaya
nusantara menjadi bagian dari pariwisata.
Purwakarta memang sempat menjadi saksi sejarah perlawanan
rakyat Indonesia terhadap VOC, namun hanya sedemikian saja, secara budaya dan
sejarah sebenarnya tak banyak yang dapat ditawarkan sebagai aspek pariwisata.
Namun, kondisi demikian tak membuat sang penguasa patah arang. Wajah Purwakarta
kini cantik dengan daya tarik di berbagai titik. Dengan dalih ingin mengangkat
berbagai kearifan lokal yang dimiliki Nusantara, kini Purwakarta menjelma
menjadi kota istimewa yang pariwisatanya tak kalah asik dengan kota-kota besar
lainnya. Gapura dan corak khas Pulau Dewata dapat dengan mudah ditemukan
menghiasi sudut kota, berbagai tokoh pewayangan Mahabarata pun menjadi satu
gaya yang menjadi tanda kota.
Tak mau kalah dengan tetangganya Kota Bandung, Purwakarta
memiliki beberapa taman cantik yang menjadi andalan muda-mudi menghabiskan
banyak waktunya di ruang terbuka. Beberapa instalasi seni di sekeliling taman menjadi
primadona untuk berfoto selfie, tatkala segerombol wisatawan hadir lengkap
membawa tongkat narsisnya. Memang tak seramai taman dan alun-alun di Bandung,
namun justru hal ini yang menciptakan faktor kelestarian lingkungan sekitar,
tak banyak sampah berserakan dan fasilitas umum relatif masih baik dan terjaga.
Beranjak dari alun-alun, saya dikenalkan kepada Citra dan
Sri, sayangnya bukan dalam wujud perempuan tinggi cantik semampai seperti yang
saya khayalkan, tetapi dua nama yang menjadi taman di Purwakarta; Taman Citra
Resmi dan Taman Sri Baduga. Dyah Pitaloka Citra Resmi seorang putri kerajaan
Sunda yang terlibat dalam terjadinya
Perang Bubat merupakan inspirasi bagaimana Taman Citra Resmi di Purwakarta
dinamakan. Di Taman Citra Resmi yang secara fisik keberadaannya sangat mencolok
dengan keberadaan patung dan relief yang menggambarkan ringkasan peristiwa
Perang Bubat ini tertata sangat indah. Di bagian tengah taman terdapat sang boga lakon, yaitu Dyah Pitaloka Citra
Resmi sedang beradegan akan menikam lehernya dengan pisau, sementara di bagian
belakangnya terdapat relief yang menceriterakan bagaimana perang tersebut
berlangsung dan memakan banyak korban.
Sri Baduga, yang tentunya bukan nama seorang wanita layaknya
nama Sri di jaman sekarang yang merupakan nama lain dari Prabu Siliwangi. Prabu
Siliwangi dikenal sangat erat kaitannya dengan binatang maung (macan), karena konon di saat kehancuran kerajaan yang
dipimpinnya ia dan pengikutnya berubah menjadi maung saat ditemukan sang anak, Prabu Kian Santang di lokasi bekas
kerajaannya. Bagi orang Bandung, nama Sri Baduga sendiri sudah tidak asing,
karena di Bandung Sri Baduga merupakan nama museum yang terletak di Jalan
Lingkar Selatan. Untuk memasuki wilayah Taman Sri Baduga yang ternyata sangat
luas wilayahnya ini (mungkin hampir seluas monas) harus mengitari setengah
lingkaran lebih taman tersebut dari mulai titik awal di Taman Citra Resmi,
sungguh melelahkan rasanya ketika menemukan pintu masuk kita harus kembali
mengelilingi setengah lingkaran sebuah kolam besar untuk dapat berfoto dengan
patung Sri Baduga dan keempat maung pengikutnya
di titik paling dekat. Melelahkan namun cukup pantas didapat saat melihat dari
dekat megahnya patung Sri Baduga dan
empat maung pengikutnya yang
memancarkan air layaknya patung singa di Singapore.
Sri Baduga dan Citra Resmi hanyalah dua tokoh yang
sebenarnya tidak memiliki kaitan erat dengan Purwakarta, namun diangkat oleh
pemerintah setempat sebagai bagian dari pariwisata daerah. Walaupun tidak
memiliki hubungan budaya dan sejarah dengan tempat-tempat wisata yang dibuat di
Purwakarta, namun cara cerdik pemerintah yang mengisi kosongnya kekurangan
mereka dengan berbagai konten yang menarik perlu diacungi jempol. Tentunya
kurang rasanya bila berwisata ke suatu kota tapi tak mencoba kuliner khasnya. Es
Kuwut, satu kuliner menarik yang menjadi penutup kunjungan saya ke Purwakarta.
Lokasinya tepat bersebrangan dengan stasiun purwakarta, terbuat dari air
perasan jeruk nipis berisikan hirbis dan selasih,
agak asam namun memberikan kesegaran di bawah suhu Purwakarta yang lebih
sedikit eksotis dibandingkan di Bandung.
Terimakasih, informasinya sangat bermanfaat dan sangat membantu Toko Jam Digital Masjid Purwakarta
BalasHapusSama-sama, senang kalau tulisan saya bisa bermanfaat :)
Hapus