Satu petikan kalimat yang saya dapat dari salah satu customer yang ingin memesan sebuah produk kulit custom ke saya. Padahal saya menawarkan produk berbahan dasar asli kepada customer, ia malah menginginkan produk palsu untuk dibeli.
Anyway beberapa
bulan lalu saya memulai bisnis pembuatan produk kulit secara custom bersama sahabat saya. Saya
bertugas di bagian marketing yang mengendalikan pemasaran secara digital dan
sahabat saya memegang peranan di bagian operasional dari mulai pembuatan
pesanan sampai barang sampai ke customer dengan utuh.
Kalimat tadi adalah salah satu dialog saya dengan customer
di salah satu akun social media kami. Bukan pertama kali permintaan serupa
datang kepada kami, agar harga barang yang kami jual dapat menjadi lebih murah.
Padahal semua produk kami menggunakan kulit asli yang eksklusif, tidak mudah
rusak dan tahan lama. Kami sengaja membentuk produk kami seperti itu agar
produk kami bertahan lama dan berkembang menjadi satu merek terpercaya yang
dicari orang untuk membuat produk kulitnya.
Citra produk yang saya bangun ini berdasarkan pengalaman
pribadi saya sendiri ; pernah satu ketika saya membeli jaket kulit semi-leather
via sebuah market place di internet apalagi harganya hanya 150.000 rupiah saja,
dibanding harus beli yang asli yang harganya bisa 10 kali lipatnya, saya merasa
produk semi kulit itu tidak masalah dan cukup bisa mengimbangi. Ketika
barangnya sampai di tangan, saya cukup puas dengan barang yang saya terima
karena persis dengan yang ada di foto, tapi sayangnya cuma bertahan 2 bulan, setelahnya bagian
permukaan jaket mengelupas. Dan kemudian baru saya ketahui kalau produk semi
leather itu sebenarnya tidak ada, itu hanya nama yang digunakan oleh penjual
sebagai pengganti nama kulit palsu/imitasi yang tentunya memiliki kesan yang
tidak baik.
Hal ini yang menjadi ironi di masyarakat kita, begitu
banyaknya produk imitasi yang mengatasnamakan kreativitas bertebar di pasaran.
Tak hanya produk kulit, kaos, sepatu dan barang lainnya pun sangat banyak. Seolah-olah kata kreatif berarti menciptakan
sesuatu dengan sumber daya seminimal mungkin tanpa memperhatikan kaidah dan
etika bisnis.
Memang dengan teknologi yang terus berkembang, memproduksi
sesuatu menjadi hal yang mudah, tetapi perlu dilihat lagi kualitas yang
dihasilkan serta penghargaan bagi pengrajin yang menghasilkan karya tersebut.
Jaket kulit memang secara kasat mata tidak akan terlihat orisinalitasnya,
karena dengan teknologinya mereka dapat menciptakan pori-pori kulit pada bahan
sintetis sehingga mirip dengan kulit aslinya. Biaya produksi otomatis menjadi
lebih murah, barang lebih cepat terjual karena kebanyakan orang masih keberatan
dengan harga jaket kulit asli, namun bagaimana dengan daya tahannya? Silakan
dicoba, saya jamin jaket kulit semi leather tidak mampu bertahan sampai 6
bulan. Impactnya para pengrajin kulit terpaksa banting harga untuk menjual
produknya dengan keuntungan yang tak sepantasnya, bahkan di sukaregang Garut
terjadi perang harga yang sudah menjurus ke persaingan tidak sehat. Satu hal
yang menjadikannya ironi adalah banyak pembeli dari Malaysia dan Singapore jauh
lebih menghargai produk kulit yang saya buat, tanpa harus menawar harga di
bawah harga yang sepantasnya karena tau proses pembuatannya tidak lah mudah.
Bagaimana dengan orang Indonesia? Untuk saat ini masih banyak yang merasa
terkejut dengan harga yang saya tawarkan, bahkan menawar harga sampai 10% dari
harga asli, mereka tidak sadar proses kreatif seorang pengrajin kulitlah yang
mahal harganya.
Tak jauh nasibnya dengan produk kulit, batik mengalami hal
yang tak berbeda jauh bahkan lebih miris. Di setiap hari tertentu di tiap mingunya
dan di setiap tahunnya di tanggal 2 Oktober, warga Indonesia terutama anak
sekolah serta para karyawan perusahaan ramai-ramai mengelukan Hari Batik Dunia.
Hari Batik diselenggarakan setiap tahunnya dalam rangka memperingati diakuinya
Batik sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO. Tak hanya ramai-ramai
menggunakan kemeja batik, warga Indonesia berlomba-lomba meramaikan akun social
media masing-masing dengan foto selfie bersama
memakai batik. Yang menjadikan #BatikDay atau Hari Batik menjadi suatu ironi
adalah kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa kemeja batik yang mereka
banggakan di Hari Batik bukan merupakan sebuah karya batik. Kemeja yang mereka
gunakan adalah kain bermotif batik, karena dibuat menggunakan tinta cetak dari
mesin dan didesain secara digital polanya lewat komputer, sedangkan yang
menjadikan batik diakui sebagai warisan budaya oleh UNESCO adalah bahan malam (lilin)
yang ditempelkan secara manual oleh seseorang dengan cara tertentu, dan machine printing dengan tinta bukan
salah satu dari cara tersebut. Satu kain batik bisa melalui proses
berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan untuk menyelesaikannya, hal itu yang
membuat kain batik asli berharga mahal, tetapi itulah faktor unique yang menjadikan batik menjadi
bernilai secara budaya.
Dengan adanya metode printing
batik, hal ini dimanfaatkan para pebisnis untuk mendulang uang dengan
cepat, mereka tahu belum banyak orang Indonesia paham atas kearifan lokal yang
dibawa batik lewat goresannya. Sementara itu para pengrajin batik asli mulai
terancam keberadaannya, karena batik printing
menjadi barang yang lebih laku terjual dibanding batik tulis. Bila nantinya
Batik sudah tidak bisa memberikan kesejahteraan bagi para pengrajinnya maka
gelar Batik sebagai warisan budaya dunia bisa saja dicabut.
Saya pun teringat satu artikel kontroversial yang ditulis Andre
Vltchek beberapa bulan lalu yang mempertanyakan mengenai diakuinya Kota Bandung
sebagai “the new world creative city” oleh
UNESCO. Ia adalah seorang jurnalis kelahiran Uni Soviet berkewarganegaraan
Amerika yang sering meliput daerah konflik di berbagai Negara. Satu petikan
yang sangat mengena buat saya mengenai Bandung adalah “Of course there are hundreds of “boutiques”, or more
precisely, of makeshift, badly put together shops selling fake goods
to both locals and foreigners. These fakes are so openly ‘forgeries’ that the
sellers are even rating them; depending on how closely they resemble the
originals”. “Ada ratusan toko yang
menjual barang palsu di Bandung, mereka menjual barang asli dan palsu secara
bersamaan kepada warga lokal maupun asing. Produk palsu ini sangat terbuka,
bahkan para pembeli dan penjual secara terang-terangan memberi nilai pada
barang palsu tersebut bagaimana tingkat kemiripan barang tersebut dengan
aslinya”. Mungkin yang dimaksudkan Andre disini dengan tingkat kemiripan barang
adalah bagaimana orang Indonesia secara terang-terangan menjual produk imitasi
yang kita beri nama KW1, KW2 dan seterusnya.
Harus saya akui pernyataan Andre ini adalah benar adanya dan
sebuah teguran untuk saya sendiri, karena tanpa disadari saya pun memiliki Jerseys
Real Madrid seharga 30.000 rupiah yang sablonnya sudah mengelupas, atau sebuah
frame kacamata berlambangkan Oakley seharga 25.000 rupiah. Jauh kepada hal lainnya
saya pun memiliki batik yang dibuat dengan cara printing, karena dulu saya tidak tahu cara membedakannya dengan
batik asli, begitu pun dengan produk kulit yang berkali-kali saya tertipu
dengan membeli produk kulit sintetis yang dalam hitungan bulan sudah rusak.
Tulisan ini bukan sebuah blame
atau complaint kepada suatu
pihak, tapi ini sebuah ajakan untuk minimalnya lebih meningkatkan kesadaran bahwa
menjual/membeli produk-produk tiruan dari produk aslinya bukan merupakan proses
kreatif tapi adalah proses imitative. Banyak orang yang menjual sepatu imitasi Nike
dengan kualitas yang mirip aslinya bahkan lebih baik merupakan satu bukti bahwa
kita mampu untuk maju dengan desain dan merek sendiri. Saat ini sudah banyak local brand Indonesia percaya diri untuk
maju dengan nama sendiri menjadi hal yang patut dihargai, keterbatasan modal
bukan menjadi suatu alasan untuk bersembunyi di bawah baying-bayang asing.
Banyak merek lokal tidak begitu laku terjual di Negara sendiri tapi berjaya di
tanah asing. Jangan sampai Indonesia menjadi tamu di negaranya sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar