“Kota yang baik, adalah kota yang bisa
menggoda warganya untuk keluar rumah dengan sukarela. Bersantai di jalur
pedestrian atau bibir bangunan atau berinteraksi di taman kota” Enrique
Penelosa, Mantan Walikota Bogota, Ibukota Kolombia.
Kalau melihat dari definisi yang
disampaikan di atas, setidaknya kota Bandung sekarang ini sudah mirip dengan
deskripi tersebut, sejak hadirnya beberapa taman di berbagai sudut kota Bandung
serta revitalisasi Jalan Asia Afrika menjelang peringatan Konferensi Asia
Afrika bulan April 2015 lalu, sangat terasa perbedaanya, warga Bandung sendiri
serta para wisatawan mulai gemar melakukan wisata taman ataupun berkunjung di
lokasi menarik lainnya karena sekedar penasaran ataupun sekedar ingin selfie
supaya bisa disebut kekinian.
Sebenarnya Bandung tidak hanya kaya
akan taman, namun juga kaya akan sungai, beberapa sungai kecil seperti sungai
citepus dan cidurian melintas melewati perumahan warga.
Cikapundung adalah satu dari
beberapa sungai yang berada di Bandung, namun bersama-sama dengan sungai
Citarum, sungai Cikapundung merupakan sungai yang tergolong besar dan membelah
wilayah administrasi kota Bandung. Mungkin bila sungai ini bersih dan tertata
bisa jadi, sungai cikapundung bisa bagaikan Venice di Italia.
Nama cikapundung sendiri berasal
dari nama buah kapundung yang dulu tumbuh di sekitaran sungai, namun saya
sendiri belum pernah menemukan buah kapundung secara langsung, saya baru
melihat buah kapundung dari hasil penelusuran internet saja.
Sempat saya pernah mendengar cerita
bahwa sungai cikapundung ini seringkali meluap antara tahun 1920-1950an, bisa
dibayangkan bila saat ini debit air sungai cikapundung masih menyebabkan banjir
di tengah kota, mungkin kota Bandung akan bernasib layaknya Jakarta yang
seringkali terjadi banjir di wilayah jalan protocol.
Cikapundung yang kini dibangun
sebagai lokasi wisata pun mulai nampak terlihat dari dibangunnya Cikapundung
River Spot di wilayah Jalan Cikapundung Timur (yang sekarang sudah berganti
nama menjadi Jl. Ir. Sukarno). Cikapundung river spot didukung dengan
ditutupnya Jl. Ir. Sukarno untuk kendaraan dan dirubah seluruhnya menjadi jalan
pedestrian. Sejak keberadaan cikapundung river spot ini praktis mengundang kalangan kreatif di Bandung untuk ikut membuat event di area ini, kini nyaris tidak
pernah absen setiap minggunya selalu ada event yang diselenggarakan di
Cikapundung River Spot, dari mulai festival makanan, musik serta pameran
fashion rutin diadakan di wilayah ini, beberapa fasilitas publik seperti bangku
dan air mancur sangat mendukung event-event yang diselenggarakan disini.
Selain Cikapundung River Spot,
pemerintah kota Bandung juga menyiapkan Cikapundung Promenade di hilir sungai
yang berlokasi di dekat area babakan siliwangi hingga memindahkan kampong
kolase yang sudah berdiri sejak lama di lokasi tersebut.
Area-area yang tersebut di atas
mungkin bisa menjadi primadona wisata baru bagi para pelancong dan warga, namun
bagaimana dengan khasanah keberadaan sungai itu sendiri yang seharusnya menjadi
sumber kehidupan yang baik bagi penduduk disekitarnya. Sungai Cikapundung bukan
hanya Cikapundung River Spot dan Cikapundung Promenade saja, tapi terbentang melalui
3 daerah administrasi, kabupaten Bandung, kota Bandung serta Kabupaten Bandung
Barat, dan sepanjang aliran sungai Cikapundung masih berwarna sangat keruh dan
berwarna gelap, sangat tidak baik untuk kesehatan warga yang tinggal di
bantaran sungainya, bila sungai meluap maka sampah, kotoran dan segala jenis
bakteri yang terkandung dalam air sungai akan terbawa masuk ke rumah warga, bahkan
sebenarnya saya pernah melihat di satu sisi orang buang kotoran di Cikapundung,
di sisi lain ada anak dimandikan ibunya, serta di ujung lainnya ada seorang ibu
mencuci pakaiannya menggunakan aliran air yang sama.
Faktor manusia memang menjadi
faktor utama “sakitnya” sungai Cikapundung, namun abrasi yang terjadi di
sepanjang sungai Cikapundung pun menyulitkan terwujudnya sungai Cikapundung
yang asri, selain juga berbahaya bagi bangunan yang dibangun sepanjang sungai
yang bisa kapan saja rubuh karena disebabkan oleh longsor. Seharusnya memang
ada batas tertentu dimana warga dapat membangun kediamannya sehingga tidak
mengganggu ekosistem alam, namun yang terjadi justru daerah aliran sungai
Cikapundung tanpa disadari makin menyempit, karena warga yang tinggal di sisi
sungai membangun rumahnya dengan sedikit demi sedikit memakai area aliran
sungai tanpa ijin.
Satu inovasi sempat dilontarkan
untuk menjernihkan sungai cikapayang yang mengalir di samping balai kota
Bandung, pertanyaanya apakah sistem tersebut akan berhasil bila diterapkan di
sungai Cikapundung? Mengingat sungai Cikapundung memiliki skala yang lebih
besar dibanding Cikapayang.
0 komentar:
Posting Komentar