Saya rasa saat ini kalau saya pajang foto ini sudah tidak ada lagi orang yang bertanya ini dimana? Karena tebing ini sudah sangat populer sejak tahun lalu foto-fotonya beredar di Instagram, bahkan banyak orang yang menyebutnya Tebing Mainstream.
Aneh bin ajaib, tebing yang sudah tercipta dan berdiri disana ribuan tahun lalu dengan jarak yang tidak terlalu juah dari kota Bandung baru dikenal oleh masyarakat Bandung tahun lalu.
Banyak yang menyebutkan kalau tebing ini sebenarnya sudah sering dilewati oleh para penggowes, namun yang berperan penting dalam mempopulerkan tebing ini adalah komunitas foto instagram, peran sosial media yang sekarang begitu viral sehingga membuat tebing ini dalam sekejap menjadi terkenal.
Poin yang menjadi daya tarik di tebing ini adalah pemandangan bandung yang bukan perkotaan tapi justru hutan dan gunung secara langsung.
Hal ini cukup langka dikota Bandung, karena bila kita naik ke dataran tinggi seperti lembang, cartil atau punclut kita melihat keindahan kota Bandung dengan berbagai arsitektur dan lampu temaramnya.
Selain itu posisi tebing yang menghadap ke utara menjadikan kita dapat melihat matahari terbit di sebelah kanan tebing pada pagi hari dan ketika matahari terbenam disebelah kiri tebing, ditambah pemandangan yang sedikit berkabut apabila di pagi hari menambah keindahan pemandangan dari tebing ini.
Hutan yang terlihat dari atas tebing adalah hutan raya Djuanda yang sebenarnya orang lebih familiar dan sering berkunjung karena ada gua peninggalan penjajah yang terlebih dahulu menjadi objek wisata. Saya bisa dibilang cukup terlambat mengunjungi tempat ini, karena ketika saya datang ke tebing keraton pada satu minggu setelah hari lebaran tahun lalu tempat ini sudah penuh sesak walau tidak sesesak sekarang, ditambah area tebing ini sebenarnya cukup sempit dan berbahaya karena berhadapan langsung dengan jurang yang sangat dalam, namun hal ini tetap tidak menyurutkan para pengunjung untuk turun sedikit ke bawah tebing.
Namun, saya termasuk beruntung saat mengunjungi tebing ini karena saya hanya menghabiskan uang 4.000 rupiah saja per motor, 2.000 untuk biaya melewati portal dan 2.000 lagi untuk biaya parkir, kalau dibagi dua biayanya dengan teman boncengan saya, saya hanya mengeluarkan biaya 2.000 rupiah saja.
Berbeda dengan teman saya yang seminggu kemudian mengunjungi tebing ini, ia harus mengeluarkan uang 16.000 rupiah karena para warga sekitar mulai menjadikan tebing ini sebagai lahan bisnis, 11.000 rupiah untuk tiket masuk dan 5.000 rupiah untuk parkir motor, malah belakangan saya dengar sudah mulai bermunculan tukang ojeg yang mengantarkan para pengunjung bulak balik dari bawah sampai tebing dengan rentang tarif 30.000-50.000 rupiah. Memang kehadiran ojeg ini cukup pantas mengingat jalan yang ditempuh cukup buruk dan agak terjal, dan tidak semua kendaraan mampu naik sampai lokasi.
Setahun berlalu setelah saya terakhir kesana, saya melihatdari foto teman-teman saya yang berkunjung, tempat ini sudah banyak mengalami perubahan salah satunya bagian tebing yang sedikit dibuat rata dengan pasir dan batuan kecil serta pagar pembatas area tebing dengan jurang, walaupun tetap saja masih ada orang yang nekat naik melewati pembatas untuk mendapatkan foto yang berbeda dengan pengunjung lain.
0 komentar:
Posting Komentar